Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. (Photo/Oded Balilty) |
Kesepakatan dari
rekonsiliasi dua kubu utama Palestina, Hamas dan Fatah, telah membuahkan hasil
di Kairo, Mesir pada Kamis, 12 Oktober 2017. Meski hanya mencapai kesepakatan parsial yang menangani
masalah sipil dan administratif, tapi itu adalah kemajuan awal yang memuaskan
berbagai pihak, kecuali Israel.
Masalah yang jauh lebih
diperdebatkan seperti pemilihan nasional, reformasi Organisasi Pembebasan
Palestina (PLO) dan status sayap bersenjata Hamas untuk sementara disisihkan.
Itu akan dipertimbangkan pada pertemuan berikutnya di akhir November 2017.
Sumber-sumber
Palestina dan Mesir melaporkan bahwa sebuah delegasi Israel mendarat di Kairo
selama beberapa jam pada Selasa, 10 Oktober 2017, saat pembicaraan antara Hamas
dan Fatah dimulai.
Jika laporan tersebut benar, ini menegaskan betapa pentingnya Mesir menganggap
kerja sama dengan Israel, jika rekonsiliasi Palestina berhasil.
Pemerintah persatuan Palestina yang terakhir didirikan pada musim panas 2014, tapi
harus berumur pendek. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mencelanya sejak
awal sebagai "suara untuk teror".
Beberapa pekan kemudian, setelah tiga pemuda Yahudi diculik dan dibunuh di Tepi
Barat yang diduduki, Israel meningkatkan serangan terhadap Gaza, yang berpuncak
pada perang yang menewaskan lebih dari 1.500 orang warga sipil di daerah
kantong tersebut. Pertempuran itu terdengar sebagai lonceng kematian bagi pemerintah
persatuan.
Dengan keberhasilan awal dari rekonsiliasi saat ini, Israel diduga mungkin akan
mencoba untuk melakukan konfrontasi baru untuk menyabotase proses rekonsiliasi
tersebut.
Sebelumnya, Menteri Pertahanan Avigdor Lieberman mengeluarkan pernyataan bahwa
Israel sedang mempersiapkan sebuah perang lagi dengan Hizbullah Lebanon. Namun,
dia mengatakan bahwa perang semacam itu tidak dapat dilakukan di perbatasan
utara dengan Lebanon. Itu memberi isyarat bahwa perang yang dimaksud akan
mencakup Hamas.
Gershon Baskin, seorang Direktur Pusat Penelitian dan Informasi
Israel-Palestina, mengatakan bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu
akan terus mencari peluang untuk menghancurkan pemerintah persatuan Palestina.
"Pastinya, dia ingin menciptakan gangguan. Dia lebih memilih agar Tepi
Barat dan Gaza tetap terbagi sehingga tidak ada tekanan padanya untuk
bernegosiasi," kata satu dari sedikit orang Israel yang memiliki kontak
reguler dengan pimpinan Hamas tersebut.
Tapi Baskin juga yakin, Netanyahu enggan untuk membuat penentangannya terhadap
kesepakatan tersebut terlalu eksplisit.
Dia mencatat bahwa tentara Israel juga memperingatkan bahwa krisis kemanusiaan
di Gaza berisiko memicu babak baru pertempuran dengan Hamas yang lebih baik
dihindari.
Netanyahu juga tidak ingin terlihat secara terbuka menentang Gedung Putih
ketika Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara terbuka menyatakan bahwa
dia menginginkan kerangka perdamaian regional dengan menjadikan Mesir pemain
kunci.
Trump, baru-baru ini dilaporkan, mengatakan kepada Sekjen PBB Antonio Guterres pada
sebuah pertemuan bulan September, dia menganggap Netanyahu sebagai penghalang
besar untuk kesepakatan damai.
Netanyahu kemungkinan akan sangat mewaspadai hasil karya Presiden Mesir Abdel
Fattah Al-Sisi yang dengan jelas menganggap rekonsiliasi Palestina sebagai
kepentingan keamanan yang mendesak bagi Mesir.
Baskin berkeyakinan, Netanyahu akan melakukan yang terbaik untuk menumbangkan
pemerintah persatuan secara diam-diam.
Bahkan sebelum kesepakatan rekonsiliasi diumumkan, Netanyahu telah meminta
pemerintah persatuan untuk membubarkan sayap militer Hamas dan mendesak Hamas
memutuskan hubungannya dengan Iran. Itu adalah tuntutan kondisi yang dirancang
untuk mengatasi hubungan Hamas-Fatah.
Mi’raj
News Agency (MINA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar