Senin, 16 Oktober 2017

Israel Lawan Rekonsiliasi Palestina

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. (Photo/Oded Balilty)

Kesepakatan dari rekonsiliasi dua kubu utama Palestina, Hamas dan Fatah, telah membuahkan hasil di Kairo, Mesir pada Kamis, 12 Oktober 2017. Meski hanya mencapai kesepakatan parsial yang menangani masalah sipil dan administratif, tapi itu adalah kemajuan awal yang memuaskan berbagai pihak, kecuali Israel.


Masalah yang jauh lebih diperdebatkan seperti pemilihan nasional, reformasi Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan status sayap bersenjata Hamas untuk sementara disisihkan. Itu akan dipertimbangkan pada pertemuan berikutnya di akhir November 2017.


Sumber-sumber Palestina dan Mesir melaporkan bahwa sebuah delegasi Israel mendarat di Kairo selama beberapa jam pada Selasa, 10 Oktober 2017, saat pembicaraan antara Hamas dan Fatah dimulai.

Jika laporan tersebut benar, ini menegaskan betapa pentingnya Mesir menganggap kerja sama dengan Israel, jika rekonsiliasi Palestina berhasil.

Pemerintah persatuan Palestina yang terakhir didirikan pada musim panas 2014, tapi harus berumur pendek. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mencelanya sejak awal sebagai "suara untuk teror".

Beberapa pekan kemudian, setelah tiga pemuda Yahudi diculik dan dibunuh di Tepi Barat yang diduduki, Israel meningkatkan serangan terhadap Gaza, yang berpuncak pada perang yang menewaskan lebih dari 1.500 orang warga sipil di daerah kantong tersebut. Pertempuran itu terdengar sebagai lonceng kematian bagi pemerintah persatuan.

Dengan keberhasilan awal dari rekonsiliasi saat ini, Israel diduga mungkin akan mencoba untuk melakukan konfrontasi baru untuk menyabotase proses rekonsiliasi tersebut.

Sebelumnya, Menteri Pertahanan Avigdor Lieberman mengeluarkan pernyataan bahwa Israel sedang mempersiapkan sebuah perang lagi dengan Hizbullah Lebanon. Namun, dia mengatakan bahwa perang semacam itu tidak dapat dilakukan di perbatasan utara dengan Lebanon. Itu memberi isyarat bahwa perang yang dimaksud akan mencakup Hamas.

Gershon Baskin, seorang Direktur Pusat Penelitian dan Informasi Israel-Palestina, mengatakan bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu akan terus mencari peluang untuk menghancurkan pemerintah persatuan Palestina.

"Pastinya, dia ingin menciptakan gangguan. Dia lebih memilih agar Tepi Barat dan Gaza tetap terbagi sehingga tidak ada tekanan padanya untuk bernegosiasi," kata satu dari sedikit orang Israel yang memiliki kontak reguler dengan pimpinan Hamas tersebut.

Tapi Baskin juga yakin, Netanyahu enggan untuk membuat penentangannya terhadap kesepakatan tersebut terlalu eksplisit.

Dia mencatat bahwa tentara Israel juga memperingatkan bahwa krisis kemanusiaan di Gaza berisiko memicu babak baru pertempuran dengan Hamas yang lebih baik dihindari.

Netanyahu juga tidak ingin terlihat secara terbuka menentang Gedung Putih ketika Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara terbuka menyatakan bahwa dia menginginkan kerangka perdamaian regional dengan menjadikan Mesir pemain kunci.

Trump, baru-baru ini dilaporkan, mengatakan kepada Sekjen PBB Antonio Guterres pada sebuah pertemuan bulan September, dia menganggap Netanyahu sebagai penghalang besar untuk kesepakatan damai.

Netanyahu kemungkinan akan sangat mewaspadai hasil karya Presiden Mesir Abdel Fattah Al-Sisi yang dengan jelas menganggap rekonsiliasi Palestina sebagai kepentingan keamanan yang mendesak bagi Mesir.

Baskin berkeyakinan, Netanyahu akan melakukan yang terbaik untuk menumbangkan pemerintah persatuan secara diam-diam.

Bahkan sebelum kesepakatan rekonsiliasi diumumkan, Netanyahu telah meminta pemerintah persatuan untuk membubarkan sayap militer Hamas dan mendesak Hamas memutuskan hubungannya dengan Iran. Itu adalah tuntutan kondisi yang dirancang untuk mengatasi hubungan Hamas-Fatah. 


Mi’raj News Agency (MINA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar