Militan Al-Shabaab somalia. (Foto: dok. Buzz Kenya) |
Kelompok militan Al-Shabaab memberikan serangan yang sangat
memukul pemerintah Somalia dan rakyatnya pada 14 Oktober 2017. Serang bom truk
yang memhancurleburkan sebuah kawasan sibuk di ibu kota Mogadishu, menewaskan
lebih 300 orang dan melukai lebih 300 pula.
Ini menjadi serangan bom terbesar dalam sejarah negara Afrika
Timur itu. Serangan itu mengguncang kepercayaan pemerintah Somalia, termasuk
bantuan domestik dan internasional, bisakah pembangunan dari bencana perang
terus berlanjut?
Dengan melakukan kekejaman yang mencolok seperti ini,
pemimpin Al-Shabab memberi sinyal bahwa mereka telah membakar semua jembatan kemungkinan
negosiasi mereka. Serangan kejam itu menunjukkan negosiasi tidak membuahkan
hasil dan ancaman dari Al-Shabaab tetap besar.
Al-Shabaab telah mempertahankan pemberontakannya,
mempertahankan kontrol atas wilayah yang signifikan, meskipun belakangan
berkurang. Mereka memukul pemerintah negara yang rapuh penuh isu korupsi.
Pedagang dan penyelundup yang licin sama-sama melakukan
bisnis dengan Al-Shabaab, karena pengajuannya lebih luas, lisensi dan kuasanya lebih
dihormati, tanpa ada pemerasan sewenang-wenang dan korupsi.
Bahkan mungkin saja kanker korupsi itulah yang membuat pengeboman
14 Oktober bisa terjadi. Timbul pertanyaan: Bagaimana bom truk tersebut dapat
menembus keamanan Mogadishu? Apakah Al-Shabaab memiliki kolaborator dengan
orang di dalam pemerintahan?
Sejak Konferensi London 2012 yang menggembar-gemborkan
peralihan kekuasaan dari tahun-tahun pemerintahan transisi ke pemerintah
federal hari ini, tatanan baru Somalia telah didukung oleh upaya kolektif donor
internasional untuk membangun kembali negara itu beserta institusi-institusinya.
Pemerintahan baru memberikan impian dengan aktifnya
persaingan para politisi Somalia, para pengusaha akan bekerja sama dengan
berbagai kelompok kekuatan regional, termasuk Ethiopia, Arab Saudi, Turki, dan
Qatar, ditambah 22.000 personel pasukan Uni Afrika yang diyakini dapat
mengalahkan Al-Shabaab di medan perang.
Hasilnya, ada tanda-tanda bahwa impian dalam bentuk program
itu bekerja, meski perlahan dan terbata-bata.
Mogadishu sedang bangkit dengan menjadi lokasi konstruksi
raksasa, komunitas bisnis yang terkenal dinamis berinvestasi, diaspora orang Somalia
pulang ataupun datang berkunjung. Sementara Turki baru saja membuka akademi
militer yang luas untuk membantu melatih tentara Somalia.
Arab Saudi menyumbang uang tunai langsung ke anggaran
nasional dan Uni Emirat Arab menginvestasikan banyak uang di infrastruktur
pelabuhan, meskipun kedua negara baru-baru ini membungkam kepala pemerintahan
Somalia karena penolakannya untuk mengambil bagian dalam sengketa Teluk melawan
Qatar.
Diduga kuat, akademi militer yang dikelola Turki adalah
target awal dari serangan bom. Namun, sopir dilaporkan panik setelah dihentikan
oleh pasukan keamanan dan meledakkan bom truknya di lapangan tengah. Tragisnya,
dilokasi itu ada sebuah truk tanker bahan bakar yang sedang diparkir,
menyebabkan timbulnya bola api yang kian memperbesar ledakan tersebut.
Ledakan bom dahsyat itu memperkuat terjebaknya Somalia dalam
siklus ketidakamanan yang berkepanjangan. Bergantung pada pasukan penjaga
perdamaian Misi Uni Afrika di Somalia (AMISOM) tidak dapat bertahan selamanya.
Pasukan AMISOM Ethiopia dan Kenya mulai menarik diri dari
sejumlah daerah dalam beberapa bulan terakhir. Penarikan tersebut dijadwalkan
akan meningkat tahun depan. Rencananya adalah mengganti pasukan perdamaian
dengan arsitektur keamanan nasional Somalia yang baru, yaitu tentara, polisi,
penjaga pantai, intelijen yang dilatih dan dilengkapi oleh AMISOM dan mitranya.
Dinas keamanan Somalia yang belum siap, membuat Uni Afrika
dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merencanakan lebih banyak latihan daripada
perencanaan praktis. Di Dewan Keamanan PBB bulan lalu, Duta Besar Somalia dan
beberapa pejabat internasional lainnya secara diam-diam menjelaskan bahwa
penarikan AMISOM dari Somalia akan menjadi bencana.
Uni Eropa yang dua tahun lalu membiayai 90 persen anggaran
AMISOM, kini turun menjadi 80 persen. Uni Eropa perlahan mengurangi
pendanaannya.
Meski diakui bahwa pasukan Uni Afrika diperlukan untuk
berperang melawan Al-Shabaab, tapi kehadiran pasukan Kenya dan Ethiopia dibenci
oleh rakyat Somalia. Kedua negara itu itu pernah menjadi tentangga antagonis bagi
Somalia. Keberadaan mereka akan dianggap penghinaan terhadap kebanggaan
nasional Somalia, terlebih wartawan investigasi Kenya telah menemukan bukti
adanya korupsi dan pelanggaran hukum kemanusiaan yang dilakukan oleh tentara
Kenya di Somalia.
Pengeboman di Mogadishu membuat rencana penarikan pasukan
Kenya dan Ethiopia diperdebatkan. Orang-orang Kenya, Ethiopia, dan tentara
Somalia sekarang berada di bawah tekanan kuat untuk meningkatkan tindakan
ofensif mereka di wilayah-wilayah yang dikuasai Al-Shabaab.
Sementara itu, pemerintahan Donald Trump yang secara
diam-diam menggenjot operasi tempur Pasukan Khusus Amerika Serikat di Somalia,
jadi dilanda dilema. Pertama, apakah Washington akan menerima pendekatan
multilateral dari pemain internasional terkemuka lainnya di Somalia, yaitu Uni
Afrika dan Uni Eropa? Atau terus melakukannya sendiri dengan pendekatan "America First" terhadap kebijakan
luar negeri?
Dilema kedua adalah apakah memprioritaskan tindakan politik
atau militer?
Adapun bagi Al-Shabaab, mereka dapat terus merekrut anggota.
Setiap kali seorang pemimpin seniornya terbunuh, letnan lainnya akan mengambil
alih.
Sumber: Tulisan Alex De Waal di Foreign Policy
Mi’raj News Agency
(MINA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar