Minggu, 22 Oktober 2017

Dapatkah Somalia Menang Melawan Al-Shabaab?

Militan Al-Shabaab somalia. (Foto: dok. Buzz Kenya)

Kelompok militan Al-Shabaab memberikan serangan yang sangat memukul pemerintah Somalia dan rakyatnya pada 14 Oktober 2017. Serang bom truk yang memhancurleburkan sebuah kawasan sibuk di ibu kota Mogadishu, menewaskan lebih 300 orang dan melukai lebih 300 pula.

Ini menjadi serangan bom terbesar dalam sejarah negara Afrika Timur itu. Serangan itu mengguncang kepercayaan pemerintah Somalia, termasuk bantuan domestik dan internasional, bisakah pembangunan dari bencana perang terus berlanjut?

Dengan melakukan kekejaman yang mencolok seperti ini, pemimpin Al-Shabab memberi sinyal bahwa mereka telah membakar semua jembatan kemungkinan negosiasi mereka. Serangan kejam itu menunjukkan negosiasi tidak membuahkan hasil dan ancaman dari Al-Shabaab tetap besar.

Al-Shabaab telah mempertahankan pemberontakannya, mempertahankan kontrol atas wilayah yang signifikan, meskipun belakangan berkurang. Mereka memukul pemerintah negara yang rapuh penuh isu korupsi.

Pedagang dan penyelundup yang licin sama-sama melakukan bisnis dengan Al-Shabaab, karena pengajuannya lebih luas, lisensi dan kuasanya lebih dihormati, tanpa ada pemerasan sewenang-wenang dan korupsi.

Bahkan mungkin saja kanker korupsi itulah yang membuat pengeboman 14 Oktober bisa terjadi. Timbul pertanyaan: Bagaimana bom truk tersebut dapat menembus keamanan Mogadishu? Apakah Al-Shabaab memiliki kolaborator dengan orang di dalam pemerintahan?

Sejak Konferensi London 2012 yang menggembar-gemborkan peralihan kekuasaan dari tahun-tahun pemerintahan transisi ke pemerintah federal hari ini, tatanan baru Somalia telah didukung oleh upaya kolektif donor internasional untuk membangun kembali negara itu beserta institusi-institusinya.

Pemerintahan baru memberikan impian dengan aktifnya persaingan para politisi Somalia, para pengusaha akan bekerja sama dengan berbagai kelompok kekuatan regional, termasuk Ethiopia, Arab Saudi, Turki, dan Qatar, ditambah 22.000 personel pasukan Uni Afrika yang diyakini dapat mengalahkan Al-Shabaab di medan perang.

Hasilnya, ada tanda-tanda bahwa impian dalam bentuk program itu bekerja, meski perlahan dan terbata-bata.

Mogadishu sedang bangkit dengan menjadi lokasi konstruksi raksasa, komunitas bisnis yang terkenal dinamis berinvestasi, diaspora orang Somalia pulang ataupun datang berkunjung. Sementara Turki baru saja membuka akademi militer yang luas untuk membantu melatih tentara Somalia.

Arab Saudi menyumbang uang tunai langsung ke anggaran nasional dan Uni Emirat Arab menginvestasikan banyak uang di infrastruktur pelabuhan, meskipun kedua negara baru-baru ini membungkam kepala pemerintahan Somalia karena penolakannya untuk mengambil bagian dalam sengketa Teluk melawan Qatar.

Diduga kuat, akademi militer yang dikelola Turki adalah target awal dari serangan bom. Namun, sopir dilaporkan panik setelah dihentikan oleh pasukan keamanan dan meledakkan bom truknya di lapangan tengah. Tragisnya, dilokasi itu ada sebuah truk tanker bahan bakar yang sedang diparkir, menyebabkan timbulnya bola api yang kian memperbesar ledakan tersebut.

Ledakan bom dahsyat itu memperkuat terjebaknya Somalia dalam siklus ketidakamanan yang berkepanjangan. Bergantung pada pasukan penjaga perdamaian Misi Uni Afrika di Somalia (AMISOM) tidak dapat bertahan selamanya.

Pasukan AMISOM Ethiopia dan Kenya mulai menarik diri dari sejumlah daerah dalam beberapa bulan terakhir. Penarikan tersebut dijadwalkan akan meningkat tahun depan. Rencananya adalah mengganti pasukan perdamaian dengan arsitektur keamanan nasional Somalia yang baru, yaitu tentara, polisi, penjaga pantai, intelijen yang dilatih dan dilengkapi oleh AMISOM dan mitranya.

Dinas keamanan Somalia yang belum siap, membuat Uni Afrika dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merencanakan lebih banyak latihan daripada perencanaan praktis. Di Dewan Keamanan PBB bulan lalu, Duta Besar Somalia dan beberapa pejabat internasional lainnya secara diam-diam menjelaskan bahwa penarikan AMISOM dari Somalia akan menjadi bencana.

Uni Eropa yang dua tahun lalu membiayai 90 persen anggaran AMISOM, kini turun menjadi 80 persen. Uni Eropa perlahan mengurangi pendanaannya.

Meski diakui bahwa pasukan Uni Afrika diperlukan untuk berperang melawan Al-Shabaab, tapi kehadiran pasukan Kenya dan Ethiopia dibenci oleh rakyat Somalia. Kedua negara itu itu pernah menjadi tentangga antagonis bagi Somalia. Keberadaan mereka akan dianggap penghinaan terhadap kebanggaan nasional Somalia, terlebih wartawan investigasi Kenya telah menemukan bukti adanya korupsi dan pelanggaran hukum kemanusiaan yang dilakukan oleh tentara Kenya di Somalia.

Pengeboman di Mogadishu membuat rencana penarikan pasukan Kenya dan Ethiopia diperdebatkan. Orang-orang Kenya, Ethiopia, dan tentara Somalia sekarang berada di bawah tekanan kuat untuk meningkatkan tindakan ofensif mereka di wilayah-wilayah yang dikuasai Al-Shabaab.

Sementara itu, pemerintahan Donald Trump yang secara diam-diam menggenjot operasi tempur Pasukan Khusus Amerika Serikat di Somalia, jadi dilanda dilema. Pertama, apakah Washington akan menerima pendekatan multilateral dari pemain internasional terkemuka lainnya di Somalia, yaitu Uni Afrika dan Uni Eropa? Atau terus melakukannya sendiri dengan pendekatan "America First" terhadap kebijakan luar negeri?

Dilema kedua adalah apakah memprioritaskan tindakan politik atau militer?

Adapun bagi Al-Shabaab, mereka dapat terus merekrut anggota. Setiap kali seorang pemimpin seniornya terbunuh, letnan lainnya akan mengambil alih.

Sumber: Tulisan Alex De Waal di Foreign Policy


Mi’raj News Agency (MINA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar