Selasa, 24 Oktober 2017

AS Rakit Poros Timur Tengah untuk Lawan Iran


Menteri Luar Negeri Amerika Serikat di Riyadh, Arab Saudi. (AP Photo/Alex Brandon, Pool)

Ketika Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Rex Tillerson mengunjungi Timur Tengah pada 21 Oktober 2017, dia berharap dapat mencapai sesuatu yang telah dihindari oleh para diplomat AS teratas selama satu generasi. 

Tillerson telah menyegel sebuah aliansi baru antara Arab Saudi dan Irak yang akan menutup pintu dunia Arab terhadap Iran.

Sementara Amerika Serikat berusaha untuk menyembuhkan keretakan antara negara-negara Arab Teluk dengan Qatar dan menyelesaikan perang saudara di Yaman dan Suriah, Tillerson adalah orang administrasi Presiden Donald Trump yang memiliki ukuran geopolitik yang bisa lebih ambisius atau sebaliknya, lebih kecil kemungkinannya.

Pejabat AS ini melihat sebuah poros baru yang menyatukan Riyadh dan Baghdad untuk melawan pengaruh Iran yang berkembang dari Teluk Persia hingga ke Laut Tengah, terutama saat pemerintah Irak berjuang untuk membangun kembali wilayah-wilayahnya yang baru dibebaskan dari Islamic State (ISIS) dan menghadapi gerakan kemerdekaan Kurdi yang baru.

Setelah mengunjungi Riyadh, Tillerson melanjutkan kunjungannya ke Qatar pada Senin, 23 Oktober 2017.

Upaya untuk menyapih Irak dari Iran dan mengikatnya ke Arab Saudi bukanlah hal yang baru, tapi pejabat AS optimis dengan pijakan yang lebih meyakinkan.

Keyakinan itu lebih terbukti ketika Tillerson berpartisipasi dalam pertemuan perdana Komite Koordinasi Arab Saudi-Irak di Riyadh pada Ahad, 22 Oktober 2017.

Tillerson akan mencari kemurahan hati keuangan Kerajaan Saudi dan dukungan politik untuk Irak.

Dua pejabat AS yang berbicara dalam statu anonim mengatakan, Tillerson berharap Saudi yang kaya minyak akan berkontribusi pada proyek rekonstruksi besar-besaran di Irak. Pemerintah Baghdad sangat memerlukan dana untuk memulihkan kehidupan pra-ISIS di kota-kota Irak seperti Mosul.

Dia menginjak hati-hati di antara sejumlah negara kuat di perbatasan Irak yang semakin berusaha membentuk masa depan bangsa yang terbagi secara etnis dan agama itu.

Irak yang mayoritas berpaham Syiah dan Sunni, telah terasing selama beberapa dekade setelah invasi Saddam Hussein ke Kuwait pada tahun 1990. Dalam beberapa tahun terakhir pemerintahannya berusaha menjembatani perbedaan kedua komunitas itu. Meski demikian, hubungan harmonis tersebut masih diliputi oleh rasa kecurigaan.

Arab Saudi membuka kembali kedutaan besarnya di Baghdad pada tahun 2015, setelah seperempat abad lamanya. Awal tahun ini, Riyadh membuka blokir perbatasan yang telah lama ditutup. Namun kemunculan Iran sebagai pemain kuat di Irak terus menggerogoti Riyadh dan Washington.

Dilaporkan bahwa Iran melakukan ntervensi di wilayah semi otonomi Kurdi di Irak, menyusul pemungutan suara kemerdekaan dalam referendum bulan September yang dikritik pemerintah pusat Baghdad dan negara regional lainnya. Kondisi itu kian memperdalam kegelisahan tersebut Arab Saudi dan AS.

“Presiden Donald Trump ingin melihat Irak yang stabil, tapi tanpa Iran," kata Dr. McMaster, penasihat keamanan nasional AS. Dia menyarankan Arab Saudi bisa memainkan peran penting.

Menurutnya, Iran sangat pandai mengadu komunitas satu sama lain.

Trump dan tim keamanan nasionalnya telah membingkai sebagian besar agenda keamanan Timur Tengah untuk menangkal Iran, yang mereka lihat sebagai pengaruh jahat yang menimbulkan ancaman eksistensial terhadap Israel dan sekutu mitra Amerika lainnya di wilayah tersebut.

Mereka juga menuduh Iran mengancam AS dan kepentingannya di dalam negeri dan tempat lain di dunia.

Tak lama setelah menjabat, Tillerson menilai peningkatan hubungan antara Saudi-Irak adalah prioritas dalam kebijakan pemerintah yang lebih luas untuk menghadapi Iran.

Menurut salah satu pejabat AS, pada kunjungan resminya yang kedua ke luar negeri, Tillerson pada bulan Februari membatalkan "pertemuan" di Meksiko demi memusatkan perhatian pada masalah tersebut.

Menurut pejabat AS, Tillerson telah memohon Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel Al-Jubeir untuk mengunjungi Baghdad sebagai tanda niat baik Riyadh dan komitmen terhadap upaya untuk mengalahkan ISIS. Permintaan itu kemudian disetujui oleh Jubeir.

Dua hari kemudian, Jubeir melakukan perjalanan mendadak ke ibukota Irak. Dia adalah menteri luar negeri pertama Arab Saudi yang melakukannya dalam 27 tahun terakhir.


Mi’raj News Agency (MINA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar