Sabtu, 30 Desember 2017

Israel Bangun Koalisi Arab Lawan Iran dan Hizbullah

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden AS Donald Trump. (Foto: Getty Images)

Sebuah rangkaian kabel diplomatik Israel bocor. Ada perintah dari kepemimpinan Israel kepada kedutaan-kedutaan besarnya di luar negeri untuk melobi negara tuan rumah masing-masing agar mendukung Arab Saudi dan upaya nyata untuk mengacaukan Lebanon.

Perintah itu tampaknya merupakan konfirmasi formal pertama mengenai desas-desus bahwa Israel dan Arab Saudi berkolusi untuk memicu ketegangan di kawasan tersebut.

Kabel diplomatik itu dikirim oleh Kementerian Luar Negeri Israel dan diungkapkan oleh saluran berita Channel 10 Israel pada Ahad, 5 November 2017.

Kabel tersebut menginstruksikan agar para diplomat menekankan keterlibatan Iran dan Hizbullah dalam “subversi regional”.

Kabel itu menginstruksikan para diplomat Israel untuk menekankan bahwa pengunduran diri Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri menunjukkan betapa berbahayanya Iran dan Hizbullah terhadap keamanan Lebanon.

Para diplomat Israel di berbagai ibu kota negara dunia diminta mendesak “pejabat tertinggi” negara tuan rumah untuk mendesak pengusiran Hizbullah dari pemerintahan Lebanon.

Atas hal ini, beberapa pengamat telah mencatat bahwa langkah diplomatik Israel untuk campur tangan secara langsung dalam masalah Arab yang bersifat internal adalah “sangat langka”.

Pengamat  meyakini, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang mengeluarkan kabel tersebut, mungkin ingin memperoleh keuntungan dari ketidakpastian di wilayah tersebut.

Perang kata-kata

Kabel tersebut muncul di saat Arab Saudi secara dramatis meningkatkan retorikanya terhadap Iran dan Hizbullah.

Pada hari Kamis, 9 November 2017, Kementerian Luar Negeri Saudi mengatakan kepada warganya untuk meninggalkan Lebanon segera, setelah menuduh Hizbullah “menyatakan perang” di negara tersebut.

Langkah itu menyusul pengunduran diri Perdana Menteri Saad Hariri, seorang politisi yang memiliki hubungan pribadi dan bisnis dekat dengan Arab Saudi. Bahkan Hariri mengumumkan kemundurannya di Riyadh, bukan di Beirut, bukan di negaranya sendiri.

Hariri menuduh Iran membangun “negara di dalam sebuah negara” di Lebanon melalui Hizbullah, sebuah kelompok Syiah yang diwakili di parlemen dan memiliki sayap militer yang kuat.

Ada kecurigaan kuat bahwa Riyadh memerintahkan Hariri mengundurkan diri, sebagai cara untuk menghancurkan Lebanon yang memiliki susunan politik rumit dan rapuh. Lebanon memiliki potensi konflik sektarian yang tinggi.

Arab Saudi juga telah memasukkan nama Iran dan Hizbullah terlibat dalam sebuah serangan rudal dari Yaman ke Riyadh pada 4 November, meski serangan itu diklaim oleh pemberontak Houthi.

Arab Saudi yang berperang besar di Yaman melawan kelompok Houthi, minoritas Syiah, telah menuduh Iran mendukung dan menyuplai senjata kepada Houthi.

Menachem Klein, seorang profesor politik di Universitas Bar Ilan, dekat Tel Aviv, mengatakan, kemungkinan Netanyahu menginginkan kabel diplomatik tersebut go public.

“Jika Anda mengirim kabel diplomatik dan mulai melobi setiap ibu kota asing, Anda harus berharap bahwa hal itu tidak akan berlangsung lama,” katanya kepada Al Jazeera. “Tujuan Netanyahu adalah untuk menjelaskan kepada orang Saudi bahwa dia dapat membantu.”

Profesor Klein mengumpamakan bahwa Netanyahu ingin berkata kepada Saudi, “Kami memiliki hubungan khusus dengan negara-negara Barat dan kami dapat membantu Anda memajukan tujuan politik Anda melawan Iran dan Hizbullah.”

Militer Israel. (YouTube)


Israel berisiko terseret oleh Arab Saudi

Namun komentator Israel Amos Harel mengatakan, Israel berisiko terseret oleh Arab Saudi dalam sebuah konfrontasi yang tidak perlu dan berbahaya dengan Hizbullah. Ia menggambarkan itu sebagai “usaha ambisius untuk mencapai tatanan regional yang baru”.

Dalam sebuah kolom di harian Haaretz Israel, Daniel Shapiro, mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk Israel, berpendapat bahwa Saudi berusaha memindahkan medan perang dari Suriah ke Lebanon, setelah kegagalan mereka menggulingkan Presiden Suriah Bashar Al-Assad.

Menurutnya, baik Israel maupun Arab Saudi telah turut campur di Suriah dengan berbagai cara selama perang, dengan tujuan tersembunyi, yaitu memperlemah pemerintahan Assad dan membantu pasukan pemberontak yang didominasi oleh Islamic State (ISIS) dan afiliasi Al-Qaeda.

Namun dengan bantuan Rusia, Assad telah menopang pemerintahannya di sebagian besar negara dalam beberapa bulan terakhir, sementara kubu besar pemberontak ISIS telah runtuh.

Baik Israel maupun Arab Saudi tidak bisa lebih terlibat langsung di Suriah, mengingat adanya keterlibatan Rusia.

Shapiro memperingatkan Israel untuk mewaspadai upaya Riyadh yang akan mendorong Tel Aviv secara prematur ke dalam sebuah konfrontasi dengan Hizbullah, yang dapat dengan cepat meningkat menjadi perang regional.

Israel siap konfrontasi
 
Pada bulan September ada sebuah pertanda bahwa Israel mungkin sedang bersiap menghadapi konfrontasi di perbatasan utara. Tentara Israel mengadakan latihan militer terbesarnya dalam 20 tahun terakhir, yang mensimulasikan sebuah invasi ke Lebanon.

Hizbullah, bagaimanapun, diasumsikan secara luas sebagai kelompok yang dipersenjatai puluhan ribu roket dan rudal. Sejauh ini, Hizbullah telah bertindak sebagai pencegah pengulangan pengeboman Israel dan invasi ke Lebanon sebagaimana yang terjadi pada 2006.

Namun, Israel dan Arab Saudi tampaknya tertarik untuk memperkuat aliansi mereka dan mengalihkan perhatian ke Lebanon dan jauh dari Suriah.

Israel telah meluncurkan lebih dari 100 serangan udara terhadap pemerintah Suriah dan target militer dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar dengan alasan mencegah pengiriman teknologi senjata dari Iran ke Hizbullah.

Sebuah rumah sakit lapangan yang didirikan oleh tentara Israel di Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel, terbukti merawat pejuang Islam yang terluka dan mengembalikannya ke Suriah, sebagaimana PBB telah mendokumentasikannya.

PBB juga telah mengamati tentara Israel mengirim “kotak” kepada pejuang Islam yang secara luas diasumsikan berisi senjata, sebagaimana Haaretz pertama kali melaporkannya pada tahun 2014.

Pembangunan koalisi

Noam Sheizaf, seorang jurnalis Israel mengatakan kepada Al Jazeera bahwa kabel diplomatik tersebut tampaknya merupakan upaya Israel dalam membangun koalisi dengan Arab Saudi dan sebagian besar negara Teluk.

“Israel memahami bahwa orang-orang Saudi kalah dari Iran di Suriah dan Yaman, dan sekarang mereka membutuhkan sekutu dengan kekuatan militer dan diplomatik yang untuk ini, dapat diberikan oleh Israel,” kata Sheizaf.

Netanyahu menunjukkan banyak hal dalam komentarnya baru-baru ini ketika dia mengatakan bahwa Israel bekerja “sangat keras”  membentuk sebuah aliansi dengan “negara Sunni modern” untuk melawan Iran. 
 
Sumber: tulisan Jonathan Cook di Al Jazeera

Mi’raj News Agency (MINA)

Jumat, 29 Desember 2017

Akhir Riwayat Al-Sabeen Square, Ikon Republik-Demokrasi Yaman

Puing-puing Al-Sabeen Square di Sanaa, ibu kota Yaman. (Foto: AA)

Al-Sabeen Square, tempat yang populer bagi warga sipil untuk berkumpul, telah berubah menjadi puing-puing hitam pada Ahad pagi, 5 November 2017.

Sekitar pukul 01.40 Ahad dini hari, serangan udara yang dipimpin Arab Saudi menghantam lokasi wisata tersebut, membuat banyak orang Yaman merasa terguncang bersama langit yang menghitam.

Sejak pemberontakan Houthi tahun 2011 di Yaman, Al-Sabeen Square telah menjadi tempat berkumpulnya para pendukung Kongres Rakyat Umum (GPC) dari seluruh negeri. Mantan Presiden Abdullah Saleh pernah menyampaikan beberapa pidato politiknya di sana. Pidato yang terakhir ia lakukan pada 24 Agustus 2017.

Ahlam Amri, seorang lulusan SMA yang tinggal di Sanaa mengatakan, serangan terhadap Al-Sabeen “tidak dapat dibenarkan, salah dan biadab.”

“Al-Sabeen Square adalah ikon republik dan demokrasi Yaman. Memang benar bahwa serangan udara menghancurkan tempat ikon ini, tapi tidak akan memaksa orang Yaman untuk menyerah,” kata Amri.

Osama Yahia, seorang penduduk lokal di Sanaa, mengatakan bahwa Yaman telah kehilangan infrastrukturnya sejak perang  pada bulan Maret 2015. Pengeboman terhadap Al-Sabeen Square adalah contoh terbaru.

“Tempat pawai parade bersejarah ini bukan milik kaum Houthi atau partai politik lainnya, melainkan milik semua orang Yaman,” kata Yahia. “Menghancurkannya tidak hanya merugikan kaum Houthi, ini telah menyakiti perasaan jutaan orang Yaman.”

Serangan udara di Sanaa telah meningkat dalam beberapa pekan di akhir Oktober. Pesawat tempur koalisi pimpinan Arab Saudi terus melayang-layang di daerah yang dikuasai Houthi.

Eskalasi ini terjadi setelah rudal balistik Houthi ditembakkan ke ibu kota Arab Saudi pada 4 November 2017.

Sabtu, awal pagi, pemerintah pemberontak yang bermarkas di Sanaa mengatakan, tentaranya menembakkan rudal balistik Burkan H2 ke Bandara Internasional Raja Khalid. Serangan mengejutkan itu membuat Riyadh tercengang. Maka sejak saat itu, Saudi meluncurkan serangkaian serangan udara terhadap banyak lokasi, salah satunya menghancurkan Al-Sabeen Square.

Al-Sabeen Square sebelum hancur. (Foto: Irhal)


Bukan kerugian yang pertama dan yang terakhir

Noura Al-Jarwi, seorang aktivis politik dan anggota Kongres Rakyat Umum (GPC), mengatakan dalam sebuah unggahan status di Facebook, pengeboman terhadap Al-Sabeen Square bukanlah kerugian pertama yang diderita rakyat Yaman.

“Setelah tiga tahun perang, pengepungan, penghancuran dan ribuan martir dan luka-luka, kerugian ini bukan apa-apa. Orang-orang Saudi akan menanggung harga yang telah mereka hancurkan di Yaman,” katanya kepada wartawan The New Arab.

Warga di Sanaa juga sangat marah karena pemerintah Yaman yang diakui secara internasional telah membiarkan serangan itu terjadi.

Sharif Naji, seorang warga Sanaa, mengatakan bahwa dia pergi untuk melihat reruntuhan pada hari Ahad. Ia merasa sangat sedih.

“Serangan udara telah menargetkan rumah sakit, sekolah, pemakaman, aula pernikahan dan sekarang tempat pawai berdiri. Bagaimana orang Yaman bisa mempercayai apa yang disebut pemerintah yang sah?” tanya Naji.

“Ketika saya melihat ke tempat yang hangus itu, saya tidak dapat menyembunyikan kesedihan saya, saya ingat ribuan orang yang dulu datang ke sana untuk melakukan demonstrasi atau memperingati perang yang telah menghancurkan keindahan negara kami,” kata Naji.

Namun, ada pula orang Yaman lainnya yang bereaksi tak acuh terhadap serangan itu.

Ali Aqlan, seorang sopir bus yang bekerja di Sanaa, mengatakan bahwa penghancuran tersebut tidak membuatnya “sedih.”

“Politisi dan pemimpin di Yaman harus merasa sedih dan menyesal karena mereka telah membawa penyakit ini ke negara ini, saat mereka melanjutkan pertempuran mereka demi kekuasaan,” kata Aqlan.

Yaman terjun ke dalam perang saudara ketika kelompok Houthi dan sekutunya menggulingkan pemerintah Yaman yang didukung Arab Saudi pada awal 2015. Perang berlarut lebih buruk setelah Saudi memimpin koalisinya melakukan intervensi militer di Yaman.
Satu rudal tapi konsekuensi serius

Serangan rudal ke Riyadh telah memicu konsekuensi serius bagi Yaman. Tanggapan koalisi pimpinan Saudi tidak hanya mengebom Al-Sabeen Square dan pos terdepan militer lainnya, tetapi juga penutupan semua perbatasan Yaman.

Ini adalah perkembangan yang akan memperburuk situasi kemanusiaan yang sudah menjadi bencana di negara itu.

Beberapa jam setelah mengumumkan penutupan perbatasan Yaman, krisis bahan bakar segera meningkat dengan cepat dan warga mengantri di banyak tempat di dekat pompa bensin di ibu kota. Penerbangan pun dihentikan di bandara selatan Yaman.

Faisal Mohammed (30), seorang penduduk di Sanaa yang biasa membeli bensin 20 liter seharga YR5600 (US$ 13), jadi harus membayar YR8000 (sekitar US$ 18) setelah penutupan perbatasan.

PBB memperingatkan bahwa blokade bantuan kemanusiaan di Yaman akan membuat jutaan orang berisiko.

“Operasi kemanusiaan diblokir akibat penutupan yang diperintahkan oleh koalisi yang dipimpin oleh Saudi,” kata Jens Laerke, juru bicara Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) di Jenewa. 

*** Sumber: tulisan Khalid Al-Karimi di The New Arab. Khalid Al-Karimi adalah seorang reporter dan penerjemah lepas. Dia adalah anggota staf Pusat Media Yaman yang berbasis di Sanaa, sebelumnya bekerja sebagai editor dan reporter penuh waktu untuk koran Yemen Times.

Mi’raj News Agency (MINA)

Iran Selamatkan Suriah dari Kekalahan


Pada musim panas tahun 2012, komandan utama Tentara Suriah Merdeka (FSA) yakin bahwa momentum ada pada mereka dalam konflik perang saudara di Suriah. 

Sebuah bom meledak jauh di dalam pusat kota Damaskus yang menewaskan empat komandan senior tentara Suriah, termasuk Menteri Pertahanan Dawoud Rajiha, dan wakilnya Assef Shawkat yang juga merupakan saudara ipar Presiden Bashar Al-Assad.

Ledakan itu diyakini dilakukan oleh orang dalam yang bersimpati kepada oposisi, memberi harapan kepada pemberontak. Diyakini, hanya masalah waktu sebelum Assad menemui nasib yang sama.

Harapan itu semakin diperkuat oleh keberhasilan di medan perang, saat sekelompok kelompok pejuang berhimpun membentuk aliansi.

Fateh Hassoun, tokoh militer Suriah yang membelot dan memimpin pasukan FSA di Homs, pada saat itu sangat yakin bahwa pasukan yang setia kepada Assad tidak akan mampu bertahan dalam pemberontakan yang sedang berlangsung.

“Ada pembelotan yang meluas di antara korps perwira Suriah, terutama di tingkat tengah, seperti letnan dan kolonel yang menjadi tulang punggung tentara Suriah,” kenang Hassoun.

Saat itu, pasukan Suriah terkonsentrasi di barat daya negara tersebut, posisi yang bertujuan untuk mencegah ancaman dari Israel.

Namun bagaimanapun, keberhasilan kelompok oposisi Suriah tidak luput dari perhatian Iran dan Hizbullah, sekutu dekat Suriah. Keduanya kemudian meningkatkan keterlibatan mereka dalam perang Suriah.

Hassoun kemudian mengakui, setelah intervensi Iran dan Hizbullah, rezim Assad mulai meraih keuntungan di lapangan, terutama di wilayah pusat Homs dan Hama.

Meskipun ada intervensi Iran, rezim dan sekutu-sekutunya tetap tidak dapat memenangkan perang, tapi mereka berhasil melindungi ibu kota, Damaskus. Pasukan pemerintah melakukan mengepungan dan menahan oposisi di pinggiran ibu kota.

Bashar Al-Zoubi yang memimpin pemberontakan FSA di selatan mengatakan, Angkatan Darat Suriah hanya beroperasi pada seperempat kekuatan penuhnya sampai orang-orang Iran melakukan intervensi.

Menurutnya, tentara Suriah telah roboh dan beroperasi sekitar 20 – 25 persen dari kekuatan sebelumnya, hingga orang-orang Iran datang membawa serta Hizbullah serta milisi dari Irak dan Afghanistan. Para sekutu itu melakukan sebagian besar pertempuran atas nama tentara Suriah.

Zoubi sangat yakin bahwa oposisi akan memenangkan perang pada awal 2013, jika Iran tidak terlibat.

Sekutu dalam perang Suriah: Presiden Suriah Bashar Al-Assad (kanan), Presiden Iran Hassan Rouhani (tengah) dan Sekjen Hizbullah Lebanon Hassan Nasrallah (kiri). (Foto: blogger)

Milisi Syiah

Iran sangat ingin memastikan keterlibatannya dalam konflik di Suriah tidak terlihat secara langsung. Karena itu, kebijakannya berfokus pada pengerahan pasukan ke negara tersebut seolah-olah sebagai penasihat militer, serta melatih dan mengangkut milisi Syiah dari seluruh dunia Muslim ke Suriah.

Media Iran mengungkapkan jumlah pejuang Syiah Afghanistan yang membentuk divisi Fatemiyon sabanyak 20.000 orang.

Mereka bertempur bersama relawan lain dari Iran sendiri, Pakistan, dan Irak. Mereka ditarik dan digaji relatif tinggi dengan dalih untuk membela kuil Sayeda Zainab di Damaskus, salah satu tempat religius paling suci bagi Syiah.

Peran Iran tidak sekedar menyumbang angka bagi sukarelawan asing, tapi juga memainkan peran penting dalam melatih milisi Suriah.

“Langkah besar datang pada musim gugur 2012. Iran berkomitmen membangun dan memimpin milisi Pasukan Pertahanan Nasional (NDF) untuk menutupi Tentara Suriah yang telah habis,” kata Profesor Scott Lucas, seorang akademisi Universitas Birmingham dan pendiri situs EA WorldView.

Dengan kekuatan sebesar 90.000 pejuang, milisi NDF adalah formasi paramiliter pro-pemerintah yang telah ditugaskan untuk mengubah gelombang perang.

Iran telah membenarkan keterlibatannya dengan dalih melawan kelompok yang mereka sebut sebagai “takfiri”, seperti kelompok Islamic State (ISIS). Namun, milisi yang mereka latih telah dilibatkan secara langsung dalam memerangi kelompok oposisi Suriah seperti FSA.

Ambisi ekonomi

Menurut Profesor Lucas, Iran pun memiliki ambisi sosial ekonomi di Suriah.

“Komandan Iran tidak pernah percaya keefektifan unit reguler Suriah. Iran ingin menguasai konteks politik, ekonomi, dan militer Suriah,” katanya.

Ia mencontohkan seperti dalam kontrol de facto di Damaskus selatan dan kepemilikan aset seperti tambang fosfat.

Orang-orang Iran juga telah mengambil alih kendali secara de facto daerah sekitar kuil Sayeda Zainab di Damaskus selatan dan sedang melaksanakan proyek-proyek konstruksi besar di daerah tersebut.

Pengaruh Iran yang meluas akan menjadi perhatian bagi kepemimpinan pemerintah Suriah, tapi karena kelangsungan hidup pemerintah bergantung pada Iran, tidak mungkin kekhawatiran itu akan berubah menjadi gesekan antara kedua sekutu tersebut.

“Secara umum, tentu saja, pemerintah Assad tidak akan benar-benar mengungkapkan kecemasannya tentang pengaruh Iran yang meluas,” kata Profesor Lucas. “Misalnya, jika Anda membawa kunjungan Jenderal Bakri ke Damaskus, semua pernyataan adalah tentang kerja sama pemerintah Iran dan Suriah melawan terorisme takfiri dan Israel.”

Iran telah mendapat IOU (i owe you) dari Presiden Assad, karena pada dasarnya Iran menyelamatkan Suriah, jadi akan sangat sulit bagi rezim Assad untuk meninggalkan Teheran. 

Sumber: tulisan Ali Younes dan Shafik Mandhai di Al Jazeera
Mi’raj News Agency (MINA)

Blokade Saudi Ancam Krisis Mematikan Bagi Yaman

(Foto: AA)

Pada Senin, 6 November 2017, Arab Saudi mengumumkan bahwa mereka akan menutup semua pelabuhan darat, udara dan laut Yaman.
Meski Kerajaan Arab Saudi mengklaim itu adalah tindakan sementara, banyak yang memperingatkan bahwa sebagian besar blokade itu akan membahayakan warga sipil Yaman.
Kerajaan berdalih, langkah itu akan membendung aliran senjata kepada pemberontak Houthi Yaman.
“Komando Pasukan Koalisi memutuskan, untuk sementara menutup semua pelabuhan udara, laut dan darat Yaman,” kata pernyataan tersebut. Namun menambahkan, pekerja bantuan dan pasokan kemanusiaan akan terus dapat masuk dan meninggalkan Yaman.
Blokade tersebut terjadi setelah pasukan Houthi mengklaim bertanggung jawab atas roket yang ditembakkan ke Bandara Internasional King Fahad di Riyadh pada hari Sabtu, 4 November 2017. Houthi mengatakan bahwa serangan tersebut merupakan pembalasan terhadap operasi yang dipimpin oleh Arab Saudi yang telah membunuh ribuan warga sipil Yaman.
Arab Saudi sejak itu menyalahkan Iran yang dianggap mendukung Houthi. Kerajaan menyebut serangan rudal itu sebagai “tindakan perang”.
Namun, pemerintah Iran membantah mempersenjatai Houthi dan mengatakan bahwa pemberontak itu memproduksi senjatanya secara lokal.
Sejumlah peneliti dan LSM telah meningkatkan kekhawatirannya bahwa blokade baru tersebut akan memperburuk krisis kemanusiaan Yaman yang sudah mengerikan. Tidak hanya senjata akan dibatasi, tapi pasokan vital bagi masyarakat madani Yaman tidak akan mencapai targetnya.
Khalil Dewan, seorang peneliti Yaman yang tinggal di London mengatakan, blokade udara, darat dan laut merupakan serangan frontal penuh terhadap penduduk sipil di Yaman.
Menurutnya, jika gagal memastikan warga sipil mendapat akses terhadap bantuan kemanusiaan atau fasilitas dasar di tengah wabah kolera yang melanda, itu akan menjadi pelanggaran hukum perang.
Pengamat April Longley Alley dari Kelompok Krisis Internasional yakin bahwa blokade tersebut dapat memperdalam penderitaan yang telah dihadapi warga sipil Yaman.
Menurutnya, situasi kemanusiaan yang buruk sudah sangat dalam, maka tergantung berapa lama blokade ini berlangsung.
Jika pelabuhan Hodeida, persimpangan perbatasan Arab Saudi dan Aden ditutup, akan memotong jalur kehidupan wilayah-wilayah yang dikuasai oleh pemberontah Houthi, wilayah yang menampung sebagian besar penduduk Yaman. Namun, keputusan tersebut juga akan secara langsung mempengaruhi daerah-daerah yang dikendalikan oleh pemerintah Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi.
Alley menegaskan, peringatan bahwa penutupan itu tidak akan mempengaruhi bantuan kemanusiaan adalah tidak cukup untuk memastikan makanan dan persediaan dasar lainnya mencapai warga sipil.

Jangan Blokade Pasokan ke Yaman

Anak Yaman menderita kekurangan gizi akut. (Foto: Twitter)
Sejak awal, intervensi koalisi pimpinan Arab Saudi di Yaman telah diperingatkan untuk tidak memblokade pasokan ke Yaman, karena bisa membuat jutaan nyawa berisiko.

Pada bulan Oktober, sebuah laporan rahasia PBB dan pernyataan dari LSM kemanusiaan mengatakan, pembatasan yang dipimpin oleh Arab Saudi mencegah pasokan penting seperti makanan dan obat-obatan untuk memasuki Yaman.
Saat itu, di saat koalisi pimpinan Arab Saudi mengklaim akan mencegah arus senjata untuk pemberontak, banyak kapal tak bersenjata diblokir dan ditargetkan. Bantuan kemanusiaan penting tidak bisa sampai ke Yaman.
Pada bulan Agustus, Program Pembangunan PBB (UNDP) mengkritik Arab Saudi karena menghalangi pengiriman bahan bakar ke pesawat PBB yang memberikan sebagian besar bantuan kemanusiaan untuk Yaman, The Independent melaporkan.
“Kami memiliki kesulitan untuk mendapatkan izin dari koalisi dan dari pemerintah Yaman untuk mengangkut bahan bakar jet ini ke Sanaa untuk memfasilitasi penerbangan,” kata Auke Lootsma, Direktur UNDP di Yaman.
Namun, ketika ditanya mengapa pengiriman bahan bakar jet diblokir, Lootsma mengatakan, “Ini adalah pertanyaan yang bagus, saya tidak punya jawaban.”
Yaman sudah menderita krisis kolera yang mematikan, pertumbuhan wabahnya menjadi yang tercepat dan terbesar yang pernah tercatat. Diperkirakan akan mencapai satu juta kasus pada hari Natal nanti.
LSM secara luas menyalahkan hancurnya sistem perawatan kesehatan Yaman karena perang dan penargetan rumah sakit dan fasilitas sanitasi.
Sumber: The New Arab

Mi’raj News Agency (MINA)

Apakah Lebanon di Ambang Konflik?

Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri (kiri) dan Menteri Negara Arab Saudi untuk Urusan Teluk, Thamer Al-Sabhan (kanan). (Foto: The Daily Star/Mohammed Azakir)
Pada hari Jumat, 3 November 2017 lalu, Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri kembali berangkat ke Riyadh, ibu kota Arab Saudi, padahal baru beberapa hari yang lalu ia kembali dari kunjungannya di sana.

Saad Hariri tampak begitu akrab dalam swafotonya dengan Raja Salman dan Menteri Negara Arab Saudi untuk Urusan Teluk, Thamer Al-Sabhan.

Ia bahkan memuji “pertemuan panjang dan bermanfaat dengan saudara laki-laki saya yang menghasilkan sebuah kesepakatan mengenai banyak isu yang menarik bagi rakyat Lebanon yang baik. Insya Allah, apa yang akan terjadi lebih baik.”

Tidak ada orang-orang Lebanon yang tahu apa yang akan terjadi sehari kemudian.

Pada hari Sabtu, 4 November 2017, dari ibu kota Riyadh yang ditayangkan langsung oleh TV Al-Arabiya, Saad Hariri tiba-tiba mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Perdana Menteri Lebanon yang memimpin sebuah pemerintahan. Padahal, Kabinet Hariri adalah bagian dari sebuah penyelesaian kebuntuan politik di negara itu dengan menempatkan Jenderal Michel Aoun sebagai presiden dua tahun lalu.

Hariri secara politik “diculik”?

Bukan hanya pengumuman pengunduran diri itu yang mengejutkan pemerintah dan rakyat Lebanon, tapi tempat diumumkannya pernyataan itu menjadi tanda tanya besar. Mengapa harus di Riyadh, ibu kota Arab Saudi, bukan di Beirut, ibu kota Lebanon? Apa artinya peran Arab Saudi dalam keputusan tersebut?

Seiring itu, ditambah kisruh Kerajaan tentang perombakan kabinet, penangkapan sejumlah pangeran dan pengusaha Saudi terkait kasus korupsi akbar, menyebabkan beberapa pengguna Twitter bercanda tentang “penculikan” Hariri.

“Berkediplah dua kali jika Anda ingin kami selamatkan,” tulis warga net.

Wiam Wahhab, seorang politisi pro-Hizbullah dari etnis Druze, meminta negara Lebanon untuk melakukan apa yang bisa dilakukan untuk memastikan amannya Hariri pulang ke Beirut.

Dalam pengunduran dirinya, Hariri mengungungkapkan tentang ancaman pembunuhan terhadap hidupnya dan situasi yang serupa dengan tahun 2005, tahun ketika ayahnya dibunuh karena memicu serangkaian pembunuhan politisi dan wartawan yang ditargetkan.

Namun, perlu dicatat bahwa Pasukan Keamanan Internal Lebanon menolak laporan tentang upaya pembunuhan yang gagal terhadap Hariri sebelum melakukan perjalanan ke Riyadh.

Ilustrasi: Hizbullah Lebanon. (Hamze)
Perang dingin di Timur Tengah

Sebelumnya di Kalam Al-Nass, sebuah talk show utama Lebanon, Menteri Sabhan menyebut bahwa tidak ada perbedaan antara Hizbullah dan kelompok teroris lainnya. Dia pun mengatakan bahwa akar terorisme terletak di dalam Republik Islam Iran saja.

Pemerintah Riyadh secara resmi telah mengumumkan perang terhadap Hizbullah. Al-Sabhan menekankan, tidak akan ada legitimasi “Sunni” untuk pemerintah manapun yang mencakup menteri Hizbullah di pemerintahan Lebanon di masa depan.

Dengan kata lain, Presiden Michel Aoun akan membutuhkan banyak kesabaran dan kreativitas untuk mendapatkan pemerintahan kedua selama masa kepresidenannya. Padahal, konstitusi menuntut semua pihak dan agama memiliki wakil di pemerintahan Lebanon, termasuk Hizbullah.

Kini, peran Arab Saudi hanya setengah cerita. Separuh lainnya adalah pengaruh Iran yang terus berkembang di Lebanon dan kehadiran sebuah partai bersenjata yang secara terbuka menjanjikan kesetiaan kepada pemimpin tertinggi Republik Islam tersebut.

Keputusan Hizbullah untuk memasuki konflik Suriah dipandang oleh banyak orang sebagai ketidakmampuan negara Lebanon untuk mengendalikan kebijakan luar negeri dan keputusan militer utama, yang memungkinkan pihak bersenjata untuk memperkuat “negara dalam sebuah negara”.

Presiden Iran Hassan Rouhani pun menambahkan minyak ke dalam api, ketika dia mengecam “imperialisme” dan keangkuhan Amerika Serikat dan berbicara tentang Iran yang lebih hebat dari waktu sebelumnya.

Israel dan Trump

Lebanon telah lama menjadi panggung perang dingin regional Iran-Saudi. Tapi apa yang membuat putaran pertarungan spesial kali ini?

Pada titik ini tidak ada rahasia lagi bahwa Israel dan Arab Saudi mengadopsi pendekatan yang hampir sama dengan wilayah tersebut. Keduanya mengadopsi paham “musuh dari musuh saya adalah teman saya”.

Bagi Israel dan Arab Saudi, Iran menghadirkan “ancaman eksistensial” dan melawan ekspansi adalah prioritas nomor satu mereka.

Pada bulan September, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memuji kerja samanya dengan negara-negara Arab.

“Ini jauh lebih besar daripada periode lain dalam sejarah Israel. Ini adalah perubahan besar,” katanya dalam sebuah pidato di Chatham House, Jumat, 3 November 2017. “Orang-orang baik berkumpul dengan Israel dengan cara baru, membentuk aliansi yang efektif untuk melawan agresi Iran.”

Bagi Netanyahu, pengunduran diri dan pernyataan Hariri adalah “seruan membangun bagi masyarakat internasional untuk bertindak melawan agresi Iran.”

Eskalasi di Lebanon juga didorong oleh fakta bahwa pemerintah Amerika Serikat Presiden Donald Trump telah terbukti lebih menerima tuntutan Arab Saudi dan Israel daripada pendahulunya Barack Obama. Trump lebih memilih menolak kesepakatan nuklir dengan Iran dan negara kekuatan dunia.

Menurut pengamat Joseph Bahout, untuk mengekang pengaruh Hizbullah, Hariri dan pemimpin Sunni lainnya mungkin akan mendorong Lebanon kembali ke jurang konflik sektarian Sunni-Syiah dan konflik kekerasan lainnya.

Memojokkan Hizbullah melalui tekanan regional dan internasional atau perang Israel, tidak akan baik bagi Lebanon. Hal ini terutama terjadi karena Hizbullah tumbuh subur dalam suasana “kita melawan dunia”. Terlebih mereka adalah satu-satunya partai politik bersenjata dan terlatih di negara tersebut yang memiliki pengalaman melawan Israel dan perang saudara di Suriah.

Sementara itu, warga Lebanon yang tidak beraliran, hanya bisa berharap pada hari ketika Arab Saudi dan Iran menghentikan campur tangan dalam urusan negara mereka.

Sumber: tulisan Halim Shebaya di Al Jazeera
Mi’raj News Agency (MINA)

Rabu, 06 Desember 2017

Babak Baru Perang Yaman Setelah Tewasnya Saleh

Perang Yaman. (Foto: Reuters/Stringer)

Kematian mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh menimbulkan keraguan tentang masa depan negara yang dilanda perang tersebut. Dengan kematian itu, beberapa pengamat menilai, perang antar Koalisi Pimpinan Saudi melawan pemberontak Houthi kemungkinan akan meningkat.
Menurut Hakim Al-Masmari, Pemimpin Redaksi Yaman Post, Saleh yang terbunuh pada hari Senin, 4 Desember 2017, oleh milisi mantan sekutunya, dianggap sebagai “pukulan yang sangat keras” kepada pasukannya.
“Rumahnya dikepung selama dua hari terakhir dan hari ini (Senin) mereka menyerang rumah tersebut. Dia lolos … dia ditemukan di sebuah kendaraan yang bentrok dengan pasukan pemeriksaan Houthi,” kata Mamari kepada Al Jazeera dari ibu kota Yaman, Sanaa.
Di lokasi itu Saleh dibunuh bersama sejumlah pembantu seniornya.
Saleh yang pernah memerintah Yaman selama lebih dari 30 tahun dan memainkan peran penting dalam perang saudara yang sedang berlangsung di negara tersebut, telah meminta Koalisi Pimpinan Saudi untuk menngnetikan pengepungan terhadap Yaman pada Sabtu, 2 Desember 2017.
Secara resmi dia telah memutuskan hubungan dengan Houthi beberapa hari sebelum kematiannya. Ia mengatakan bahwa dia terbuka untuk berdialog dengan koalisi militer Saudi yang telah berperang melawan Houthi selama lebih dari dua tahun.
Di saat Arab Saudi memuji sambutan Saleh, Houthi menyatakan bahwa Saleh melakukan sebuah “kudeta” dengan penawarannya kepada koalisi negara Arab.
Pada tahun 2015, Arab Saudi, bersama dengan negara-negara Arab lainnya, secara militer melakukan intervensi di Yaman untuk mengembalikan pemerintahan Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi, yang digulingkan oleh kelompok Houthi setahun sebelumnya.
Aliansi Saleh dengan kepemimpinan Houthi dipandang rapuh, menyatukan partai Kongres Rakyat Umum (GPC) dan fraksi Houthi Ansarullah yang di masa lalu saling bertentangan.
Masmari mencatat, kematian Saleh dapat menyebabkan koalisi pimpinan Saudi akan lebih meningkatkan operasi militernya.
Sejak perpecahan antara Houthi dan Saleh di akhir November, Koalisi Pimpinan Saudi telah mengintensifkan serangan udara di daerah-daerah yang dikuasai Houthi di Sanaa, yang menargetkan bandara dan gedung Kementerian Dalam Negeri yang ditinggalkan.


Koalisi Tidak Banyak Pilihan

Joost Hiltermann, Direktur Program Timur Tengah Kelompok Krisis Internasional, mengatakan, perkembangan terakhir merupakan kemunduran besar bagi Koalisi Pimpinan Saudi yang mencakup Uni Emirat Arab (UEA) sebagai pemain kunci.
“Koalisi mempertaruhkan harapan mereka pada Saleh untuk menundukkan Houthi, tapi keadaan tampaknya berubah secara berbeda. Ini menunjukkan kebangkrutan pendekatan militer mereka terhadap perang,” kata Hiltermann.
Awal tahun ini, serangkaian email yang bocor mengungkapkan, selama pembicaraan dengan mantan pejabat Amerika Serikat (AS), Arab Saudi berkeinginan untuk mengakhiri perang di Yaman.
Meskipun tidak ada langkah-langkah resmi dari Arab Saudi untuk menarik diri dari konflik tersebut, Hiltermann mengatakan, Riyadh saat ini memiliki lebih sedikit pilihan.
“Jika mereka memutuskan untuk melipatgandakan pengeboman udara, warga sipillah yang akan menderita di atas malapetaka kemanusiaan yang telah kita lihat di Yaman,” katanya.
Pertempuran antara sesama pemberontak (Houthi dan Saleh) tersebut terjadi di saat penghuni Sanaa yang diblokade sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Koalisi yang dipimpin Saudi memberlakukan blokade pada bulan Oktober di negara Semenanjung Arab itu, padahal hampir 80 persen penduduk membutuhkan bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup.
Akhir November 2017, di tengah meningkatnya tekanan internasional atas penderitaan jutaan orang Yaman, beberapa bantuan kemanusiaan diizinkan memasuki Yaman.
Andreas Krieg, seorang pengamat politik King’s College London, mengatakan, dalam jangka pendek di Yaman akan mengalami keadaan tidak aman yang lebih buruk dari sebelumnya.
“Pengeboman koalisi sudah cukup buruk, sekarang akan ada tingkat perang saudara yang baru,” katanya.
Menurutnya, Arab Saudi ingin menarik diri dari konflik “mahal” itu, tapi sekarang tidak ada jalan keluar dari perang bagi koalisi.
Masa Depan GCP

Kematian Saleh membuka lebar pertanyaan tentang siapa yang akan menjdi penerusnya untuk memimpin partai Kongres Rakyat Umum (GPC).

Pengamat mempertanyakan, apakah pengikut GPC akhirnya akan berjanji setia kepada Houthi, atau mereka akan berkumpul kembali dan bersekutu dengan tokoh-tokoh terkemuka GPC.
Putra Saleh, Ahmed Abdullah Saleh, mantan komandan Garda Republik tentara Yaman, telah tinggal di UEA selama lebih dari empat tahun.
Keponakan Saleh, Tareq Mohammed Abdullah Saleh, adalah seorang jenderal angkatan darat yang telah bertindak sebagai penasihat militer Saleh selama bertahun-tahun.
Menurut Hakim Al-Masmari, Tareq diperkirakan akan memimpin operasi militer melawan pemberontak Houthi.
Gamal Gasim, profesor Studi Timur Tengah di Grand Valley State University, mengatakan, keamanan Sanaa mungkin tetap stabil jika Houthi mempercepat kontrol mereka atas kota tersebut.
Namun, jika keponakan Saleh berhasil mengumpulkan dukungan dari Garda Republik serta suku Sinhan Saleh sendiri, kekacauan di Sanaa bisa terjadi.
“Masih harus dilihat apakah putra Saleh, Ahmad Saleh akan kembali ke Yaman dan mengklaim kepemimpinan atas apa yang tersisa dari pasukan ayahnya,” kata Gasim dan mencatat bahwa langkah itu memerlukan dukungan dari Arab Saudi dan UEA.
“Waktu di sini sangat penting, jika mereka ingin berhasil dalam usaha itu, mereka harus bergerak dalam 48 jam,” tambah Profesor.
Sumber: Al Jazeera

Langkah Berbahaya Trump untuk Yerusalem

Presiden Amerika Serikat Donald Trump. (Foto: Reuters/David Becker)
Sejak pemerintah Amerika Serikat (AS) mengakui Israel pada tahun 1948, tidak ada yang pernah meragukan di mana Washington berdiri dalam kaitannya dengan konflik Israel dan Arab.
Namun, di saat AS selalu bersikap pro-Israel, mereka mencoba, setidaknya secara teori, untuk mematuhi hukum internasional dan konsensus dunia saat menangani konflik Israel-Palestina.
AS sering memveto banyak resolusi yang dapat ditindaklanjuti mengenai masalah Palestina, tapi posisinya selalu jelas ketika sampai pada masalah Yerusalem.
AS seperti negara-negara lain di dunia yang berulang kali menolak untuk mengakui kuasa Israel atas Al-Quds (Yerusalem Timur) dan terus mempertimbangkan Yerusalem Timur sebagai wilayah yang diduduki, sama seperti Gaza, Nablus atau Ramallah.
Hukum internasional menetapkan dengan jelas bahwa orang-orang Israel tidak diizinkan untuk mengubah status wilayah-wilayah di bawah kekuasaan militernya.
Konvensi Jenewa keempat yang dibuat untuk mengatur pekerjaan jangka panjang, jelas menentang kekuatan pendudukan untuk mengubah status wilayah di bawah pendudukannya.


Ketika Gedung Putih Lebih pro-Israel daripada Kongres

Pada masa lalu, Kongres AS sering disebut “wilayah pendudukan Israel”, karena mengeluarkan beberapa undang-undang pendukung Israel yang melanggar otoritas konstitusional cabang eksekutif atas kebijakan luar negeri AS.

Namun, Presiden AS pada masanya masing-masing berturut-turut secara konsisten menentang undang-undang itu.
Undang-undang Yerusalem yang ditandatangani pada tahun 1985 adalah satu undang-undang semacam itu. UU ini mengancam akan menghentikan dana untuk Departemen Luar Negeri jika AS tidak memindahkan kedutaannya ke Yerusalem. Namun pada saat yang sama, presiden dimungkinkan untuk menandatangani pengabaian setiap enam bulan untuk menghindari keputusan yang drastis tersebut.
Sejak 1985, setiap presiden secara teratur menandatangani pengabaian tersebut. Presiden Trump juga menandatangani pengabaian itu pada Juni 2017, sebuah langkah yang memungkinkan menantu laki-lakinya, Jared Kushner, untuk bekerja “membawa perdamaian ke Timur Tengah”.
Namun, semuanya telah berubah dalam enam bulan terakhir.
Kushner kini berada di tengah penyelidikan mengenai dugaan hubungan antara Trump dengan Rusia. Akibatnya, pengaruh Kushner di Gedung Putih telah berkurang.
Sementara itu, pengaruh Wakil Presiden Mike Pence terhadap Trump dan lingkaran dalamnya secara bertahap meningkat. Pence yang adalah seorang Zionis Kristen, telah lama menjadi suara terdepan untuk merelokasi kedutaan AS ke Yerusalem.
Dan pada hari Selasa, tujuan Pence akhirnya mendekat hasil, karena Presiden Trump dilaporkan telah menelepon Presiden Palestina Mahmoud Abbas memberitahukan niatnya untuk memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Jika Trump melewati langkah tersebut, AS akan menjadi negara pertama yang memiliki kedutaan besarnya di Yerusalem. Ini akan membalikkan dekade konsensus internasional mengenai status kota yang sangat diperebutkan itu.
Permainan Kesepakatan
Sebelum ada pengumuman, tidak bisa dipastikan bahwa Trump akan menindaklanjuti rencana itu. Ada kemungkinan Trump sekali lagi mencoba memainkan “permainan kesepakatan”.
Jika Trump menyebut “Yerusalem bersatu” sebagai ibu kota Israel, pastinya dia mengasingkan orang-orang Palestina dengan baik dan akan melemparkan usaha menantunya sendiri sebagai duta perdamaian Timur Tengah ke bawah bus.
Di sisi lain, jika dia menyebut Yerusalem Barat sebagai ibukota Israel, dia akan membuat marah orang-orang Israel dan karena itu ia bisa tidak mendapatkan banyak uang darinya.
Setiap tindakan yang dapat dilakukan Trump mengenai Yerusalem, apakah memindahkan kedutaan atau hanya menyebut kota itu sebagai “ibu kota Israel”, mencerminkan kurangnya pemahaman Trump tentang konflik dan peran Yerusalem di dalamnya.
Yerusalem bukan hanya masalah Palestina, tapi juga masalah bagi Arab dan Islam. Kota bersejarah ini juga merupakan simbol penting bagi orang-orang Kristen dan orang-orang yang mencintai perdamaian dari agama mana pun di seluruh dunia.
Bahkan jika Presiden AS memindahkan kedutaannya ke Yerusalem, tidak akan ada negara penting lain di dunia ini yang mengikuti jejaknya. Aliansi barat yang paling kuat, Uni Eropa, telah menyatakan dengan pasti tidak akan mendukung keputusan sepihak tersebut.
Liga Arab dan Organisasi Negara-negara Islam juga menolak langkah tersebut.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah mengancam untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel jika AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Terlebih lagi, Trump telah diperingatkan oleh orang-orang Palestina dan sejumlah tokoh Israel untuk tidak bermain-main dengan isu sensitif seperti Yerusalem.
Jadi dunia setuju bahwa Yerusalem tidak dapat dan tidak boleh tunduk pada “permainan kesepakatan” Presiden AS itu.
Menurut Daoud  Kuttab, wartawan Palestina pemenang penghargaan, ada jalan tengah yang bisa ditempuh Trump.
Menurutnya, administrasi Trump secara resmi dapat menerima solusi dua negara Palestina-Israel. Trump kemudian dapat mengakui Yerusalem Barat sebagai ibukota Israel dan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina. Pernyataan semacam itu akan memungkinkan Presiden Trump memenuhi janji pemilihannya untuk memindahkan kedutaan ke Yerusalem sementara pada saat yang sama mendukung usaha perdamaian yang diemban menantunya.

Sumber: tulisan Daoud Kuttab di Al Jazeera. Kuttab adalah wartawan Palestina yang memenangkan sejumlah penghargaan.

Senin, 04 Desember 2017

Zakir Naik Dapat Perlindungan di Malaysia

Zakir Naik. (Foto: dok. Suja News)


Di saat Badan Keamanan Nasional India menetapkan pengkhotbah ternama Zakir Naik sebagai buronan, kemunculannya ke muka publik menjadi satu hal yang sangat langka.
Baru-baru ini, Zakir Naik muncul di Masjid Putrajaya di ibu kota administrasi Malaysia, tempat perdana menteri dan anggota kabinetnya sering beribadah. Ia didampingi oleh seorang pengawal.
Naik yang dilarang di Inggris, telah diberi tempat tinggal tetap di Malaysia. Saat itu ia dipeluk oleh pejabat tinggi pemerintah.
Pengamat melihat kehadiran Naik di Malaysia sebagai tanda lain adanya dukungan tingkat tinggi terhadap pria yang telah mengislamkan banyak orang tersebut.
Dukungan untuk Islam yang lebih terpolitik telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Najib Razak, terutama setelah dia kehilangan suara terbanyak dalam pemilihan umum 2013.
Sejak saat itu, partai UMNO yang berkuasa yang dipimpinnya, telah berusaha untuk menyesuaikan basis etnis Melayu Muslim yang semakin konservatif. Agama telah menjadi medan pertempuran menjelang pemilihan perdana menteri pada pertengahan 2018.
Naik adalah seorang dokter medis berusia 52 tahun. Ia telah menimbulkan kontroversi dengan merek “puritan Islam”.
Menurut media, ia merekomendasikan hukuman mati bagi homoseksual dan orang-orang yang murtad dari Islam. Sebuah video YouTube menunjukkan Naik yang mengatakan bahwa jika Osama bin Laden “telah meneror Amerika sebagai teroris, teroris terbesar, saya bersamanya.”
Akhir Oktober 2017, agen kontra-terorisme India menyiapkan tuntutan terhadap Naik, dengan tuduhan bahwa dia telah mempromosikan permusuhan dan kebencian di antara berbagai kelompok agama di India melalui pidato publik dan ceramah.
Sementara di Bangladesh, saluran Peace TV miliknya ditutup. Beberapa laporan media mengklaim bahwa pengebom sebuah kafe di Dhaka yang menewaskan 22 orang tahun lalu adalah pengagumnya. Serangan di ibu kota Bangladesh tersebut diakui oleh kelompok Islamic State (ISIS) sebagai pihak yang bertanggung jawab.
Rashaad Ali, seorang pengamat dari S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) di Singapura mengatakan, pemerintah Malaysia mengakomodasi Naik karena dia menjadi tokoh yang cukup populer di kalangan orang Melayu dan mengabaikan aspek kontroversialnya.
“Jika pemerintah menendangnya ke luar negeri, itu menyebabkan mereka kehilangan kredibilitas agama di mata publik,” katanya.
Pada Selasa, 31 Oktober 2017, Wakil Perdana Menteri Malaysia Ahmad Zahid Hamidi mengatakan kepada parlemen, Naik yang memperoleh tempat tinggal permanen lima tahun, tidak diberi “perlakuan istimewa”.
“Selama waktu yang dihabiskan di negara ini, dia belum melanggar undang-undang atau peraturan apa pun. Karena itu, tidak ada alasan dari sudut pandang hukum untuk menangkap atau menahannya,” kata Zahid.
Namun, pemerintah Malaysia belum menerima permintaan resmi ekstradisi dari India terkait tuduhan terorisme yang melibatkannya.
Zahid dan Perdana Menteri Malaysia telah mengunggah foto di Facebook. Foto itu menunjukkan pertemuan mereka dengan Naik tahun lalu di Malaysia.
Sekelompok aktivis Malaysia telah mengajukan tuntutan di Pengadilan Tinggi untuk mendeportasi Naik. Kelompok itu mengatakan bahwa Naik adalah ancaman bagi perdamaian publik di masyarakat multi-rasial negara itu, sebab sekitar 40 persen penduduk Malaysia adalah non-Muslim.
Kelompok tersebut mengatakan bahwa mereka tidak sadar bahwa Naik telah pergi ke Masjid Putrajaya atau di mana dia berada di Malaysia.
Pejabat di Masjid Putrajaya mengatakan, Naik telah melaksanakan shalat Jumat di sana sekitar sebulan lamanya.
Menurut saksi, Naik juga terlihat di masjid lain, rumah sakit dan restoran di ibu kota administratif Malaysia dalam beberapa bulan terakhir.
Naik sebelumnya telah membantah tuduhan India. Dalam sebuah wawancara dengan sebuah saluran televisi Kuwait pada bulan Mei, dia mengatakan bahwa dia dijadikan sasaran oleh pemerintah nasional Hindu Narendra Modi karena popularitasnya.
Partai Islam Malaysia (PAS) yang telah membela Naik di masa lalu, pada akhir Oktober mendesak pemerintah untuk mengabaikan permintaan ekstradisi India. PAS mengatakan bahwa tuduhan tersebut bertujuan untuk menghalangi pengaruhnya dan menghalangi upaya untuk menyebarkan kesadaran keagamaan di antara masyarakat internasional. 
Sumber: BD News24

Kisah Hadiya dalam “Cinta Jihad” di Kerala

http://www.mirajnews.com/2017/11/kisah-hadiya-dalam-cinta-jihad-di-kerala.html

Suara Hadiya akhirnya akan didengar oleh Mahkamah Agung India, meski dijadwalkan pada tanggal 27 November 2017.
Kasus Hadiya adalah tentang kisah cinta. Namun, kisah cintanya telah ditolak oleh orangtuanya, komunitasnya dan bahkan pengadilan tertinggi di negara bagian asalnya, Kerala.
Setelah kisah cinta yang dipermasalahkan itu sampai ke Mahkamah Agung India, pada hari Senin, 30 Oktober 2017 lalu, hakim memutuskan akan mendengar suara Hadiya sebagai seorang wanita dewasa yang memutuskan untuk menikah. Mahkamah Agung juga memerintahkan polisi Negara Bagian Kerala untuk menghadirkan Hadiya ke New Delhi pada 27 November untuk didengar suara dan keterangannya.
Keputusan Mahkamah Agung tersebut telah lama ditunggu oleh para aktivis hak-hak perempuan.
Pernikahan Hadiya Dibatalkan
Hadiya memiliki nama asli Akhila Ashokan. Sejak ia berpindah keyakinan kepada Islam dan menikah dengan seorang pria Muslim bernama Shafin Jahan pada Desembar 2016, ia memakai nama Hadiya.
Hadiya telah dikurung di rumah ayahnya di Kottayam sejak bulan Mei 2017, saat Pengadilan Tinggi Kerala membatalkan pernikahannya.
Ayah Hadiya, KM Ashokan, marah dengan keputusan putrinya menikah dengan seorang pria Muslim. Ia kemudian mengajukan petisi ke Pengadilan Tinggi Kerala. Ia menuduh bahwa putrinya telah dimurtadkan secara paksa dan ditahan oleh sang suami.
Seorang aktivis bernama Rahul Easwar kemudian merilis sebuah video tentang Hadiya pada akhir Oktober 2017. Dalam video tersebut, Hadiya memohon kebebasannya dan menyatakan bahwa hidupnya terancam di rumah ayahnya.
“Anda harus membebaskan saya dengan cepat, saya yakin saya akan dibunuh besok. Ayah saya mulai marah. Saya tahu. Ketika saya berjalan, dia mendorong dan menendang saya,” kata Hadiya dalam video tersebut.
Video itu diambil ketika Rahul mengunjungi Hadiya di rumah ayahnya.
Dipublikasikannya video tersebut, membuat kelompok hak-hak perempuan, termasuk Komisi Wanita Kerala, telah meminta penyelidikan polisi terhadap kondisi hidup Hadiya saat ini.
Pada tanggal 16 Agustus, Mahkamah Agung India pun memerintahkan penyelidikan oleh badan “anti-teror”, Badan Investigasi Nasional (NIA) di negara bagian tersebut untuk mengetahui, apakah pernikahan Hadiya merupakan bagian dari sebuah konspirasi “Cinta Jihad” atau apakah wanita tersebut masuk Islam atas kehendak bebasnya sendiri.
Mitos “Cinta Jihad”
Kelompok Hindu mengenal istilah “Love Jihad” atau “Cinta Jihad”. Istilah itu merujuk pada sebuah persekongkolan oleh kelompok Muslim untuk memancing wanita Hindu ke dalam pernikahan yang bertujuan mengkonversi keyakinan agama si wanita kepada Islam.
Pengadilan Tinggi Negara Bagian Kerala telah mendengarkan petisi dari suami Hadiya, Jahan. Ia mengatakan bahwa perintah pengadilan tinggi adalah “penghinaan terhadap kemerdekaan perempuan India, karena sepenuhnya menghilangkan hak mereka untuk berpikir bagi diri mereka sendiri.”
Namun, badan penyelidikan NIA menilai pandangan Jahan adalah “radikal” dan ia dikaitkan dengan kelompok-kelompok Islam yang dilarang.
Aktivis bernama Harnidh Kaur mengatakan bahwa kasus tersebut melukiskan keseluruhan komunitas minoritas sebagai “penyerang dan manipulator”, yang mengacu pada tuduhan “Cinta Jihad”.
Harapan dari Mahkamah Agung India
Pandangan Mahkamah Agung pada Senin, 30 Oktober, telah memberikan beberapa harapan kepada Jahan. Hakim telah memutuskan memberi kesempatan kepada Hadiya untuk didengar suaranya pada tanggal 27 November 2017.
Hakim mengatakan bahwa persetujuan orang dewasa untuk menikah adalah yang utama.
“Menurut saya, dia adalah wanita dewasa, dia harus diperlakukan seperti itu,” kata Vrinda Grover, pengacara aktivis hak-hak perempuan.
“Saya khawatir dengan tanggal sidang Mahkamah Agung  berikutnya yang sebulan lagi, dia harus menderita dan tinggal bersama orangtuanya yang melawan keinginannya,” kata Grover.
“Ketika seorang wanita dewasa, bahkan jika dia menikahi seorang tersangka teroris, itu adalah haknya. Pembatalan pernikahan di Pengadilan Tinggi Kerala sepenuhnya tanpa yurisdiksi. Dia seharusnya tidak dikurung dengan cara ini, seperti seorang penjahat,” kata pejabat Mahkamah Agung Karuna Nundy kepada Al Jazeera
Sumber: tulisan Anmol Saxena di Al Jazeera