Beberapa tahun yang lalu, prospek untuk pejabat Israel dan Arab Saudi
berbagi panggung akan sulit ditemui. Namun, pada Ahad, 22 Oktober 2017,
mantan Kepala Intelijen Arab Saudi Pangeran Turki Al-Faisal tampak
santai dan akrab di samping Efraim Halevy, Direktur Mossad era
1998-2002, di sebuah podium di Upper East Side Manhattan, New York,
Amerika Serikat (AS).
Al-Faisal menolak penilaian bahwa Israel dan Arab Saudi merayap
menuju pengenduran, tapi banyak referensi mengenai skema senjata nuklir
Iran dan kekuatan regional yang berkembang menjadi ancaman umum yang
dirasakan bersama oleh kedua negara.
“Tidak ada pertengkaran di bawah meja antara Israel dan negara-negara
Arab ini. Apa yang dibutuhkan ada di atas meja, bukan di bawah meja,”
kata Al-Faisal kepada Forum Keamanan Timur Tengah di New York.
Namun demikian, para pengamat menilai, penampilan publik bersama
mantan pemimpin intelijen Saudi dan Israel tersebut menunjukkan hubungan
yang hangat antara kedua negara, menimbulkan pertanyaan sulit bagi
orang-orang Palestina.
“Seharusnya bukan hal yang luar biasa melihat mantan spionis Israel
dan Saudi berbagi panggung, tapi ini adalah tanda bagaimana kedua belah
pihak perlahan membiarkan hubungan belakang layar itu muncul sedikit,”
kata Michael Koplow, seorang pengamat Forum Kebijakan Israel yang juga
bagian dari penyelenggara acara di Menhattan.
Faktor Iran
Beberapa anggota dari enam anggota Dewan Kerja Sama Teluk (GCC),
terutama Arab Saudi, telah menuduh Iran mendorong ketegangan
sektarianisme di negara-negara Arab untuk membangun sebuah pengaruh
bulan sabit di Timur Tengah. Namun, Iran membantah tudingan tersebut.
Israel berbagi antipati dengan Arab terhadap Iran, keduanya memandang
Teheran sebagai ancaman eksistensial. Sebagai militer paling kuat di
kawasan ini dengan kemampuan intelijen yang disegani serta hubungan
dekat dengan AS, Israel berpotensi menjadi sekutu penting melawan Iran
bagi negara-negara Arab.
Sebagai tanda mencolok bahwa kedua negara memiliki kepentingan
bersama, baru-baru ini baik Israel maupun Arab Saudi mengucapkan selamat
kepada Presiden Donald Trump setelah pidato 13 Oktober lalu. Kedua
pemimpin negara mendukung Trump yang menyatakan bahwa dia tidak akan
mengesahkan kembali kesepakatan nuklir Iran 2015.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mencatat bahwa Israel setuju dengan Arab dan Trump.
“Ketika Israel dan negara-negara Arab utama melihat dari
mata-ke-mata, Anda harus memperhatikan, karena sesuatu yang penting
sedang terjadi,” kata Netanyahu awal bulan Oktober.
Para pemimpin Arab belum secara terbuka membuat komentar serupa, tapi itu bukan berarti mereka tidak setuju dengan Netanyahu.
Mereka menghadapi kepekaan di negara mereka sendiri, karena Israel
sering dipandang dengan permusuhan yang ekstrem, terutama bagi
pendudukan Palestina.
“Sementara batas kerja sama dan pengakuan publik sepenuhnya
bergantung pada hasil negosiasi status permanen antara Israel dan
Palestina, tidak ada pertanyaan bahwa baik Israel maupun Arab Saudi
melihat keuntungan sedikit dari pencairan publik di tempat yang secara
tradisional merupakan pembekuan yang dalam. antara kedua sisi," tambah
Koplow.
![]() |
Mantan Kepala Intelijen Arab Saudi Pangeran Turki Al-Faisal. (Foto: Wikimedia Commons) |
“Aliansi alami”
Pada bulan Mei, Presiden Trump mengunjungi Timur Tengah. Ia melakukan
perjalanan dari Arab Saudi ke Israel dalam penerbangan langsung yang
jarang terjadi antara kedua negara.
Setibanya di Israel, Trump berbicara tentang perasaan yang benar-benar baik terhadap Israel di Kerajaan Saudi.
Di Israel dan beberapa media Arab telah penuh dengan spekulasi bahwa
Pangeran Mahkota Saudi Mohammed bin Salman telah melakukan kunjungan
rahasia ke Tel Aviv pada bulan September lalu untuk melakukan
pembicaraan dengan Netanyahu dan pejabat senior Israel lainnya.
Hingga kini, hanya dua negara Arab – Mesir dan Yordania – yang telah menandatangani kesepakatan damai dengan Israel.
AS telah mempromosikan hubungan antara Israel dan dunia Arab di saat
Trump berusaha memanfaatkan kepentingan regional untuk mencapai
kesepakatan damai Israel-Palestina.
Pengakuan formal terhadap Israel oleh negara-negara Arab lainnya
tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat, tapi kerja sama telah
meningkat, sejumlah laporan menunjukkan hal itu.
Kebijakan negara-negara Arab yang telah puluhan tahun menolak untuk
berurusan dengan Israel sampai negara Palestina merdeka tercipta.
Joost Hiltermann, penulis A Poisonous Affair: America, Iraq, and the Gassing of Halabja,
menggambarkan terjadinya sebuah “aliansi alami” antara Israel dan Arab
Saudi. Namun ia memperingatkan, hal itu akan merugikan rakyat Palestina.
“Mereka (rakyat Palestina) akan menjadi korban hubungan apa pun,” kata Hiltermann kepada Al Jazeera.
Pemerintah Riyadh dapat mentolerir kesepakatan damai yang buruk
dengan Palestina untuk menjamin kerja sama dengan Israel dalam melawan
Iran.
Ali Vaez, seorang analis dari Kelompok Krisis Internasional yang
berpusat di Istanbul, mengatakan bahwa dia berbicara secara teratur
dengan pejabat Iran. Ia mengungkapkan, Teheran tidak terlalu khawatir
tentang tentang front persatuan antara Israel, Arab Saudi dan sekutunya
di Teluk.
Menurut Vaez, pemerintah Iran telah memanfaatkan setiap kemungkinan
pembicaraan damai Israel-Palestina dan “memiliki kartu untuk menyabotase
prosesnya”.
Sementara itu, kerja sama antara pemerintah Arab Saudi dan Israel
akan mengurangi legitimasi mereka di mata penduduknya sendiri.
Sumber: tulisan James Reinl di Al Jazeera
Mi’raj News Agency (MINA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar