Pengungsi Irak. (Foto: Richard Stonehouse/Getty Images) |
Ketika kelompok Islamic State (ISIS) menguasai Mosul timur
pada tahun 2014, Fatima baru berusia 11 tahun. Ketika itu, ibunya membawa ia
keluar dari sekolah, karena menurutnya di bawah peraturan ISIS, satu-satunya
hal yang diajarkan adalah bagaimana membunuh orang kafir.
Desember 2016, Fatima melarikan diri dari kota Irak terbesar
kedua itu bersama keluarganya. Mereka sekarang tinggal di kamp pengungsi Hassan
Sham, 40 kilometer sebelah timur Mosul.
Ayahnya dipukuli habis-habisan saat mereka mencoba melarikan
diri dari Mosul. Saat itu ISIS memenggal 30 orang. ISIS mencoba menghentikan
semua orang yang ingin meninggalkan kota.
Sekarang, Fatima menjalani hidup tanpa harapan. Ia merasa mimpi-mimpi
dan masa depannya telah hancur.
Sisa Luka yang Membekas
Fatima, sama seperti sebagian besar dari 10.200 orang
pengungsi internal yang tinggal di kamp Hassan Sham, hidup dengan luka
psikologis yang abadi dalam kehidupan sehari-hari di bawah peraturan ISIS.
Sekarang, dia mendapat bantuan dari Program Dukungan
Psikososial Kesehatan Mental yang dijalankan oleh Organisasi Internsional untuk
Migrasi (IOM).
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan, di antara 838.950
orang yang mengungsi saat pertempuran Mosul, sekitar 80 persen menderita trauma
psikologis, dengan 15-20 persen melaporkan gejala ringan atau sedang dan gejala
parah 3-4 persen.
Menurut Abdulhalim Hasan, seorang psikiater Suriah yang
bekerja di IOM, gejala utama yang dihadapi
para pengungsi adalah depresi dan reaksi psikosomatik seperti tidak bisa tidur.
Para wanita cenderung rambutnya rontok atau kehilangan kemampuan menyusui
anak-anak mereka.
Kerabat orang-orang yang bergabung atau bekerja sama dengan
ISIS sering menunjukkan rasa mendendam.
Dr Hasan berasal dari Damaskus. Sebelum dia dan keluarganya
melarikan diri dari ibu kota Suriah, dia adalah seorang psikiater di sebuah
pusat kesehatan mental di Douma, 10 kilometer timur laut Damaskus. Mereka
menuju ke utara Suriah, dari sana ia ke Turki. Keluarganya akhirnya menetap di
Yordania.
Putrinya menderita trauma akibat serangan mortir di
sekolahnya. Lima teman sekelas anaknya terbunuh.
"Mereka yang telah menderita penyiksaan atau tinggal
bertahun-tahun di bawah kelompok ISIS, berada dalam masa transisi dan mereka
berjuang untuk menyesuaikan diri dengan kondisi baru mereka," kata Dr
Hasan.
Menurutnya, situasi sangat sensitif, terutama untuk wanita
dan anak-anak. Anak-anak bertanya kepada orang tua mereka. Mengapa mereka tidak
memiliki rumah lagi? Mengapa beberapa saudara mereka meninggal?
“Sebagian orang mengira mereka telah dihukum oleh Tuhan,
atau percaya bahwa perang tersebut terjadi karena mereka tidak mematuhi ibu
mereka," kata Dr Hasan.
Wanita Wajib Tertutup
Saat Keluar Rumah
Lina adalah seorang ibu berusia 40 tahun yang memiliki 14
anak. Dia meninggalkan rumah yang hancur di Mosul dan makam suaminya yang
meninggal karena kanker.
Ia mengisahkan bahwa mereka tidak memiliki makanan di Mosul,
bahkan mereka tidak bisa keluar rumah. Di bawah ISIS, banyak yang dilarang. ISIS
mewajibkan wanita harus benar-benar tertutup.
Selain Lina, banyak bekas penghuni kota Mosul berbagi kisah
pemaksaan dan kebrutalan yang sama di bawah pemerintahan ISIS.
"Itu adalah pengalaman yang sangat sulit, semuanya
dilarang, televisi, telepon seluler, yang melanggar peraturan didenda atau
dipukuli," kata Zeina (30) pengungsi dari Mosul Timur.
Ketika masih di Mosul, Zeina hanya tinggal di rumah karena
jika ia ingin pergi keluar, ia harus menutupi diri sepenuhnya. Bahkan untuk
memperlihatkan wajahnya ia dilarang.
Lina dan Zeina sekarang tinggal di sebuah kamp yang
menampung 10.000 orang yang kehilangan tempat tinggal di Chamakor, 20 kilometer
di sebelah timur Mosul. Mereka juga menerima bantuan dari Program Dukungan
Psikososial Kesehatan Mental dari IOM.
Tekanan Pascatrauma
Selain syok karena hidup di bawah pemerintahan ISIS, warga
Mosul masih menderita stres akibat pertempuran dan pengeboman selama pertempuran
untuk pembebasan kota itu dari ISIS.
"Saya ingat serangan pesawat terbang yang
spesifik," kata remaja bernama Ahmed. "Itu brutal, saya ingat merasa
tercekik di dalam kamar tempat saya berada. Satu-satunya hal yang bisa saya
lakukan adalah memegangi kepala saya di antara kedua kaki saya."
Bersama teman-temannya, Ahmed menghadiri pertemuan kelompok
psikologi. Menurut para dokter, bagi remaja, pendekatan kolektif ini adalah
kunci penyembuhan paling efisien untuk penyerapan kejutan.
Setelah pembebasan Mosul, negara ini menghadapi masa depan
yang tidak menentu.
Sumber: tulisan Laura
Cappon, jurnalis pemenang penghargaan
yang meliput berita di seluruh dunia, termasuk di Italia, Tunisia dan Mesir.
Mi’raj News Agency
(MINA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar