Minggu, 29 Oktober 2017

Black Day, 70 Tahun Konflik Kashmir Tak Berkesudahan

Ilustrasi


Tujuh puluh tahun yang lalu pada hari Jumat, tentara India mendarat di lembah Himalaya, Kashmir, menimbulkan salah satu perselisihan paling mematikan di dunia.

Setiap tahun orang-orang di wilayah terbagi ini menandai 27 Oktober sebagai "Black Day" (Hari Hitam) untuk memprotes "pendudukan militer India" yang telah berusia puluhan tahun.

"Anda pergi ke rumah mana pun, mereka akan menceritakan sebuah kisah bagaimana saudara laki-laki, anak laki-laki, dan suami mereka terbunuh, dan bagaimana mereka terus menghadapi kekejaman tentara. Kami terus menghidupkan dampak dari hari yang melahirkan konflik ini," kata Javed Ahmad (55) yang toko kelontongnya tutup pada hari Jumat, di kota utama Srinagar, ibu kota Negara Bagian Jammu dan Kashmir sebagai tanda protes.

Perang India-Pakistan pertama terjadi untuk Kashmir setelah kemerdekaan dari pemerintahan Inggris, ketika suku-suku bersenjata dari Provinsi Perbatasan Barat Laut Pakistan (sekarang disebut Khyber-Pakhthunkhwa) menyerang wilayah yang disengketakan tersebut pada Oktober 1947.

Penguasa Kashmir saat itu, Maharaja Hari Singh, dihadapkan pada sebuah revolusi internal dan juga invasi eksternal. Ia meminta bantuan dari angkatan bersenjata India dengan imbalan mendapat akses ke India. Dia menyerahkan kendali departemen pertahanan, komunikasi, dan urusan luar negerinya kepada pemerintah India.

Meskipun kedua belah pihak sepakat bahwa aksesi yang ditandatangani oleh Maharaja Hari Singh akan diratifikasi oleh sebuah referendum setelah permusuhan dihentikan, tapi pemungutan suara tersebut tidak pernah diadakan, bahkan setelah 70 tahun membuat Kashmir menjadi warisan partisi yang belum terpecahkan.

Dua saingan nuklir India dan Pakistan, masing-masing mengelola sebagian wilayah Kashmir, tapi keduanya mengklaim wilayah Himalaya secara keseluruhan. Kelompok militan pro kemerdekaan telah berjuang sejak tahun 1989 untuk bagian yang dikelola oleh India agar Kashmir menjadi independen atau bergabung dengan Pakistan.

Hampir 70.000 orang terbunuh dalam pemberontakan tersebut dan tindakan keras militer India selanjutnya. India memiliki sekitar 500.000 tentara di wilayah mayoritas Muslim tersebut.

"Konflik Kashmir terus sama seperti 70 tahun yang lalu. Tidak ada perubahan di dalamnya, ada kekejaman kepada orang-orang. Kami sangat menderita sejak hari itu, dan kami terus menderita, partisi tersebut memiliki efek abadi pada kami. Semua orang yang mencintai umat manusia harus maju untuk menyelesaikan perselisihan ini karena ini adalah perselisihan terpanjang yang pernah ada di dunia," kata Muhammad Ashraf Wani, seorang profesor sejarah. Ia menambahkan bahwa konflik tersebut telah menghancurkan Kashmir bersama masa lalunya.

Khalid Bashir, seorang penulis Kashmir mengatakan, bahkan setelah perang dan kekerasan lainnya, sebuah solusi masih harus ditemukan di Kashmir.

Menurutnya, konflik tersebut menimbulkan perjuangan bersenjata, kematian dan kehancuran, tapi tetap tidak ada keseriusan dalam menyelesaikan masalah ini. Konflik tersebut telah mengakibatkan anak menjadi yatim, luka-luka, dan pertumpahan darah terus berlanjut.

“India dan Pakistan memiliki argumen mereka, tapi rakyat Kashmir yang mendapat peluru," katanya.
Selama 70 tahun telah mengajarkan pelajaran bahwa pertumpahan darah akan berlangsung sampai usaha serius dilakukan untuk mengatasinya. India dan Pakistan bahkan tidak saling berbicara, ini akan terus berlanjut.

Pemimpin separatis yang dipimpin oleh Syed Ali Shah Geelani yang mendukung Kashmir bergabung dengan Pakistan, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa India "secara paksa" merebut Kashmir pada tahun 1947.

"Tujuh puluh satu tahun yang lalu pada hari ini, India tanpa pembenaran konstitusional dan moral secara paksa mengendalikan Jammu dan Kashmir, dan sejak saat itu, pasukan India tanpa ampun membunuh orang-orang Kashmir yang tidak berdosa dan tidak bersenjata, merusak properti mereka dan terlibat dalam tindakan tidak manusiawi lainnya," kata Geelani.

Pemimpin yang selalu menyerukan demonstrasi menentang "pendudukan ilegal" itu, menuduh pasukan keamanan India melepaskan kekejaman terhadap bangsa Kashmir.

Jumat, 27 Oktober 2017, pihak berwenang memberlakukan jam malam di sebagian besar wilayah Kashmir dan menempatkan keamanan besar-besaran di jalan untuk mencegah terjadinya demonstrasi besar-besaran memperingati Black Day. Bahkan warga setempat dilarang menghadiri shalat Jumat di Masjid Agung Srinagar.

Sumber: tulisan Rifat Fareed di Al Jazeera

Mi’raj News Agency (MINA)

Sabtu, 28 Oktober 2017

Perjuangan Panjang Ibu Kashmir Mencari Anaknya yang “Hilang”

Parveena Ahanager (50 tahun). (Foto: Omar Asif)
Setiap bulan pada tanggal 25, puluhan orang wanita berkumpul di Partab Park, di Srinagar, ibu kota musim panas Kashmir yang dikelola India. Mereka adalah keluarga dari korban penghilangan paksa.

Mereka berkumpul dan memegang plakat di tangannya yang bertuliskan tuntutan sekaligus pertanyaan yang sudah lama tertulis, "Di mana orang terkasih?" Sejauh ini, pertanyaan mereka belum dijawab oleh negara India.

Namun, mereka terus melakukan protes tanpa sedikit pun menyerah.

Mereka telah mengadakan demonstrasi duduk selama 24 tahun terakhir setelah mereka berkumpul untuk membentuk Asosiasi Orangtua Orang Hilang (APDP) pada tahun 1994.

Pemimpin APDP adalah Parveena Ahanger, seorang wanita berusia 50 tahun. Ia mengumpulkan keluarga korban penghilangan paksa setiap bulan. Anaknya diculik oleh Angkatan Darat India pada tahun 1990.

"Mereka membawa anak saya menjauh dari saya," keluhnya. "Saya hanya bertanya kepada mereka di mana mereka menyimpannya."

Parveena Ahanager sekarang adalah seorang aktivis hak asasi manusia yang terkenal di Kashmir. Dia dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2015 dan telah dianugerahi banyak penghargaan lainnya selama ini. Baru-baru ini dia dianugerahi penghargaan Rafto Prize 2017 dari Norwegia untuk kampanye hak asasi manusia yang ekstensif.

Meski mendapat penghargaan, perjuangannya penuh dengan banyak bahaya.

Rasa sakit seorang ibu

Javid Ahmed Ahanager adalah murid kelas 11 saat dia diculik oleh Angkatan Darat India. Dia dibawa dari rumahnya di Batamallo, Srinagar.

"Setelah saya mengetahui tentang penculikannya, saya pikir dia akan segera dibebaskan dan kembali ke rumah," kata ibunya, Parveena. "Tapi sejak itu saya sudah menunggu, sekarang penantian saya sudah memasuki tahun ke-27."

Parveena mengajukan pengaduan “orang hilang” ke kantor polisi setempat sesaat setelah anaknya menghilang. Petugas meyakinkannya bahwa mereka (orang yang menangkapnya) akan segera membebaskannya. Namun setelah sembilan hari, polisi mengatakan kepadanya bahwa mereka tidak berdaya untuk melakukan apa pun.

Kemudian Parveena mulai melakukan demonstrasi di depan kantor polisi yang memaksa Inspektur Senior saat itu untuk mencatatnya. Inspektur akhirnya memberitahunya bahwa mereka telah melacak anaknya.

"Dia mengatakan kepada saya bahwa anak saya berada di Rumah Sakit Kanton BB, sebuah rumah sakit yang dikelola oleh Angkatan Darat India di Srinagar, dia meminta saya untuk pergi ke sana dan menemuinya, dia memberi saya izin masuk ke rumah sakit," kenangnya.

Saat sampai di rumah sakit, petugas militer menunjukkan seorang asing kepada Parveena, seseorang yang bukan anaknya.

Bosan dengan "kebohongan" polisi tersebut, Parveena mengajukan sebuah kasus yang melawan tentara di Pengadilan Tinggi Jammu Kashmir pada 1991. Ia menuntut untuk diberitahu keberadaan anaknya.

Pengadilan membentuk sebuah komisi investigasi yang kemudian menemukan bahwa tentara telah membawa anaknya, tapi sekarang tidak tahu di mana dia berada.

Terkejut tapi tidak kalah, Parveena mengajukan petisi lain ke pengadilan. Kali ini, pengadilan mengambil waktu lima tahun untuk memeriksa keluhan tersebut. Akhirnya kasus tersebut dikirim ke Kementerian Dalam Negeri di New Delhi untuk mendapatkan sanksi. Sejak saat itu, kasus tersebut telah berbohong dan tidak ada yang terjadi.

"Inilah saat saya kehilangan kepercayaan pada sistem peradilan India. Mereka semua berbohong," kata Parveena.

Selain berjuang dalam pertempuran hukum, dia juga memulai mencari anaknya sendiri. Dia mengunjungi kamp tentara India, bertemu dengan perwakilan pemerintah daerah dan anggota parlemen India, meminta bantuan mereka untuk melacak anaknya.

"Tapi tidak ada yang keluar dari itu, mereka meyakinkan saya bahwa mereka akan menemukan anak saya, tapi mereka tidak membantu," katanya.

Sebuah perjuangan bersama

Selama kunjungan ke kamp-kamp tentara, pusat penyiksaan dan kantor pejabat pemerintah, dia bertemu dengan orang-orang lain yang mengalami nasib yang sama dengannya. Dia mendengar cerita tak berujung tentang anak laki-laki, suami dan ayah yang telah diculik dan "tanpa sadar hilang".

Selama kunjungan-kunjungannya itu ia berpikir, jika para keluarga korban berjuang bersama, tentu hasilnya akan berbeda.

Mulailah Parveena mengunjungi distrik lembah Kashmir yang jauh, tempat ratusan orang dilaporkan "hilang". Dia bertemu dengan anggota keluarga korban dan mulai mencatat nama mereka dan nama korbannya. Dia mulai mengumpulkan pengakuan saksi. Dia juga mulai mengumpulkan potongan koran laporan tentang penghilangan paksa.

Setelah menempuh perjalanan sepanjang tahun yang melelahkan melintasi Kashmir, Parveena mengumpulkan sekitar lima puluh orang yang anggota keluarganya "hilang".

Para keluarga kemudian bertemu di kediaman Parveena dan mendiskusikannya, kemudian melakukan sebuah prosesi di gerbang Pengadilan Tinggi atau duduk di pinggir jalan sambil memegang foto anak-anaknya, menuntut untuk mengetahui di mana keluarga mereka “yang hilang” berada.

Pada tahun 1994, mereka membentuk APDP dan mulai mengadakan demonstrasi duduk di depan gerbang Pengadilan Tinggi Jammu dan Kashmir.

Asosiasi Orangtua Orang Hilang (APDP). (Foto: Omar Asif) 


Kekerasan polisi

Begitu negara mulai memperhatikan demonstrasi mereka, petugas keamanan membungkam mereka dengan kekerasan. Polisi setempat datang dan memukuli mereka. Polisi bahkan menyeret mereka dari pintu gerbang pengadilan dan memasukkan mereka ke penjara.

"Tapi kami tidak terhalangi. Kami terus merangkai dan memprotes," kata Parveena.

Mereka lalu beraksi di jalanan Srinagar, tapi dikejar lagi.

Kini, semakin banyak keluarga yang bergabung dengan APDP, mencari keberadaan putra, suami dan ayah mereka. Seiring bertambahnya jumlah keluarga, Parveena memutuskan untuk mengadakan demonstrasi di taman umum setempat untuk mendapatkan perhatian media.

Mereka akan berkumpul di SMC Park pada tanggal 25 setiap bulannya. Kemudian, karena serangan brutal oleh petugas keamanan negara, mereka mengubah tempat tersebut menjadi Partab Park, di jantung kota.

Dalam perjuangannya memperjuangkan keadilan bagi anak laki-lakinya dan korban lainnya di Kashmir, Parveena pada mulanya sendirian. Keluarganya menolak mendukungnya.
Kerabatnya dulu menyuruh ia berhenti, mereka takut ia terbunuh. Tiga anaknya yang kecil terpengaruh oleh ketidakhadiran ibunya di rumah. Suaminya berkali-kali mengatakan kepadanya untuk fokus di rumah menjalani kehidupan rumah tangga. Namun, Parveena mengatakan bahwa kehilangan anaknya tidak mengizinkannya duduk di rumah.

"Saya menyuruh suami saya untuk menjalankan rumah dan saya akan mencari anak saya dan berjuang," katanya.

Ribuan orang “menghilang”

Penghilangan paksa hanya satu dalam daftar panjang pelanggaran hak asasi manusia yang dituduhkan kepada negara bagian dan militer di Kashmir.

Setelah gerakan bersenjata pribumi untuk hak penentuan nasib sendiri pecah di Kashmir pada 1987, negara bagian India dituduh melakukan sebuah operasi penyiksaan, pemerkosaan massal, dan penghilangan paksa terhadap penduduk sipil.

Menurut berbagai sumber independen dan berbagai kelompok hak asasi manusia lokal dan internasional, setidaknya 8.000-10.000 orang Kashmir dikhawatirkan telah dikenai hukuman paksa oleh negara India.

Buried Evidence, sebuah laporan tahun 2009 yang diterbitkan oleh Pengadilan Rakyat Internasional tentang Hak Asasi Manusia dan Keadilan di Kashmir yang dikelola India (IPTK), juga melaporkan jumlahnya menjadi "8.000 plus".

Pemerintah Kashmir yang pro-India berturut-turut telah mengakui adanya penghilangan paksa. Namun, mereka dengan sengaja tidak mau mengungkapkan jumlah korban yang terkena dampak.

Namun, tidak pernah ada upaya untuk membiarkan undang-undang mengambil jalannya dan melakukan penyelidikan independen terhadap kasus tersebut. Dari tahun 1993, Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan telah ditolak masuk ke lembah Kashmir oleh pemerintah India. Pemerintah India pun tidak mau menerima rekomendasi dari PBB.

Parveena Ahanager melihat tidak ada harapan untuk mendapatkan keadilan dalam waktu dekat, tapi dia akan terus berjuang. Dan dia akan terus menunggu anaknya. (A/RI-1)

Sumber: tulisan Nayeem Rather di The New Arab. Penulis adalah seorang jurnalis lepas yang tinggal di Srinagar, Kashmir.

Mi’raj News Agency (MINA)

Jumat, 27 Oktober 2017

Nasib Karez, Sistem Air Canggih Warisan Kuno Muslim Uyghur

Lubang saluran bawah tanah Karez di Turpan, Xinjiang, Cina. (Foto: Zao Ge)

Tahir Tomur, warga Muslim Uyghur, menemukan beberapa lubang tanah besar yang telah ditimbun dengan kotoran dan sampah.

Melihat kondisi lubang warisan peninggalan ratusan tahun masyarakat Uyghur itu, Tomur merasa prihatin.

Dia berjalan melalui sebuah lingkungan di Turpan, sebuah kota oasis kuno yang telah berkembang di cekungan kering di wilayah Xinjiang, Cina bagian barat. Ada sejarah di balik lubang yang disebut Karez itu.

Lubang-lubang itu adalah poros vertikal, masuk jauh ke dalam bumi, lalu terhubung dengan terowongan horisontal yang panjang. Karez dibangun untuk membawa air dari daerah pegunungan terdekat ke dataran yang kering, melalui bawah tanah tempat terlindung dari panas yang bisa menguapkan air. Terkadang suhu bisa mendekati 50 derajat celcius di musim panas.

Sistem air bawah tanah Karez digali oleh sebagian besar penduduk Muslim Uyghur selama berabad-abad, kira-kira 4.400 kilometer terowongan di daerah ini. Dijuluki "Tembok Besar Bawah Tanah" oleh para ilmuwan. Struktur tersebut dulunya digunakan untuk mengairi kebun anggur dan atasi kekeringan. Pemerintah Cina dalam beberapa tahun terakhir, berusaha melindungi dan mengembalikan fungsinya.

Karez di Turpan, Xinjiang, Cina. (Foto: Visit Our China)

Namun di masa lalu, setengah abad, sebagian besar terowongan Karez telah kering. Sebuah survei nasional 2009 menemukan bahwa hanya seperempat sistem dari Karez Turpan yang masih membawa air. Apa yang dulunya merupakan sumber kehidupan dan sumber budaya, telah direduksi menjadi artefak bersejarah yang kering. Seiring itu, posisi orang Uyghur di Turpan telah berkurang oleh migrasi etnis Han Cina yang besar.

“Di pemerintahan Cina Komunis, tidak ada yang peduli dengan Karez lagi. Tidak ada yang menjaganya," kata Gheni, seorang pria Uyghur yang berjalan melewati lubang Karez yang penuh sampah. "Sayang sekali, tapi apa yang bisa kita lakukan?"

Bagi orang Uyghur, pengeringan terowongan telah memberi kekhawatiran yang lebih dalam, nasib kehancuran dari jalur air bersejarah yang terkait dengan orang-orang Uyghur.

Sementara kini etnis Uyghur berada di bawah serangan. Uyghur telah dituding terlibat dalam serangkaian serangan teror di Cina dalam beberapa tahun terakhir. Ketakutan akan radikalisasi telah mendorong pihak berwenang Cina melakukan tindakan keras. Mereka telah membatasi praktik keagamaan, memasang sistem pengintai yang menyebar luas dan mengirim ribuan orang ke kamp pendidikan ulang politik.

Diagram pembuatan saluran Karez di Turpan, Xinjiang, Cina. (Gambar: Karez Documentary)

Karez adalah contoh langka kecerdikan orang Uyghur di tempat yang mereka tidak diberi banyak hal untuk dibanggakan. Orang Uyghur telah dikekang dan dibatasi. Bahkan berbicara tentang keadaan sistem saat ini, bisa berbahaya.

"Kita tidak bisa membicarakan hal ini sebagai orang Uyghur. Uyghur tidak bisa berbicara terlalu banyak, atau kita akan dibawa pergi," kata Gheni.

Sejumlah besar peninggalan agama dan sejarah telah dihancurkan selama hiruk pikuk Revolusi Kebudayaan. Beberapa artefak kekaisaran yang paling mengesankan di negara ini tetap berada di tempat-tempat lain seperti Taiwan.

Bahkan Tembok Besar, salah satu landmark negara yang paling terkenal, telah hancur akibat korban kelalaian, cuaca dan penduduk desa setempat yang menjarah batu bata untuk kepentingan mereka sendiri. Hampir 30 persen dari struktur peninggalan dinasti zaman Ming tersebut telah lenyap, sebagaimana yang dilaporkan media pemerintah, sementara sebagian besar sisanya dalam perbaikan kasar.

Di saat sistem Karez kurang dikenal daripada Tembok Besar, tapi ini bisa dibilang lebih penting. Nilai defensif Tembok Besar sebagian besar telah pudar, tapi jaringan Karez tetap memiliki sumber irigasi, air minum dan kebutuhan sehari-hari yang berharga. Tanpa Karez, kebun anggur dan rumah akan kering. Sebagian penduduk desa masih memelihara tempat tidurnya di sepanjang tepian saluran air di bawah tanah, karena suhu musim panas bisa turun 20 derajat.

Tapi kondisi sistem Karez Cina sama buruknya dengan instalasi serupa di negeri lain. Saluran bawah tanah Turpan serupa dalam desain dan fungsinya dengan jaringan Qanat berusia ribuan tahun di Iran, Suriah dan Afrika Utara. Qanat adalah teknologi yang disebarkan oleh Spanyol. Di Iran, kira-kira tiga perempat Qanat tetap berfungsi.

Karez Turpan telah menderita modernisasi, termasuk inisiatif pembangunan yang dipimpin oleh negara. Pemerintah telah mengintensifkan penggunaan lahan pertanian untuk meningkatkan produksi pertanian kapas, mendorong pemerintah membawa teknologi baru untuk mendapatkan air yang cukup. Instalasi pompa listrik, khususnya, telah menurunkan tabel air pada titik yang tidak lagi secara alami bisa mengaliri banyak terowongan. Pipa yang memberi makan keran dapur dan sistem irigasi juga mengurangi ketergantungan akan saluran air kuno.

Pihak berwenang Cina tetap berupaya menghentikan kerusakan Karez. Sejak 2009, pejabat lokal di Turpan telah menghabiskan lebih dari $ 11 juta (Kanada) untuk pekerjaan perlindungan dan pemulihan. Tujuannya adalah untuk tetap mengfungsikan 200 sampai 300 Karez, sekitar seperempat dari apa yang pernah ada, menurut seorang profesor Cina yang telah meneliti jaringan secara rinci.
"Semua Karez yang selamat telah dihidupkan kembali," kata profesor yang berbicara dalam status anonimitas itu. Dia menganggap itu sebuah kesuksesan. "Jika Anda melihat Karez di Turki, hampir tidak ada yang bisa digunakan lagi."

Tapi untuk menjaga sistem Karez tetap bertahan adalah sulit, kata profesor itu. Karez secara tradisional membutuhkan perawatan tahunan untuk membersihkan lumpur dan menopang tanah agar tidak roboh. Namun di hari ini, sulit menemukan seseorang yang mau melakukan pekerjaan itu.

"Orang yang lebih muda tidak ingin turun, mengingat tingginya (terowongan) hanya setinggi satu meter," katanya.

Metode perbaikan modern jauh lebih kuat, termasuk pemasangan gorong-gorong dan penyangga beton. Namun, hanya beberapa area yang layak diperbaiki.

"Melestarikan Karez adalah tindakan pelestarian warisan budaya.  Ada beberapa peraturan, hanya yang terbaik yang akan dipertahankan," katanya.

Namun, Shalamu Abudu, seorang sarjana Uighur yang terlibat dalam penelitian di Texas, mengatakan, terowongan memiliki nilai yang melampaui sejarah atau bahkan budaya. Sistem air kuno itu adalah teknologi yang tetap berharga di hari ini untuk alasan ekologis.

Menurutnya, pemulihan Karez akan memerlukan usaha yang melampaui pemasangan beton. Yang dibutuhkan adalah pendekatan sistemik, yang mencoba melestarikan air tanah. 

Sumber: tulisan Nathan Vanderklippe di The Globe and Mail

Mi’raj News Agency (MINA)

Kamis, 26 Oktober 2017

Mengapa Israel Serang Suriah?

Jet Israel
Selama Sabtu, 21 Oktober 2017, saling tembak lintas batas antara Israel dan Suriah terjadi, kian memanaskan permusuhan kedua negara.

Kedua negara saling menyalahkan ketika Israel menyerang meriam artileri Suriah. Israel mengklaim bahwa mereka merespon tembakan roket yang mendarat di Dataran Tinggi Golan Suriah yang diduduki Israel.

Namun, kekerasan dan ancaman lintas batas bukanlah hal baru. Telah terjadi serangan tit-for-tat yang hampir rutin dalam bentuk tembakan roket, pembunuhan dan serangan udara yang telah meningkat sejak perang Suriah dimulai pada tahun 2011.

Di saat tentara Israel telah sering menembaki posisi dan basis militer Suriah selama perang, pasukan pemerintah Suriah justru tidak pernah secara langsung membalas, meskipun Israel berspekulasi bahwa sebagian dari tembakan yang menyasar ke Dataran Tinggi Golan itu disengaja dari Suriah.

Jenis serangan apa yang terjadi?

Serangan Israel terhadap tentara Suriah terjadi secara sporadis dan umumnya dianggap terjadi saat ada tembakan nyasar ke Dataran Tinggi Golan, baik oleh tentara Suriah atau oleh oposisi dan milisi dukungan Iran.

Dalam kasus penembakan yang menyimpang, tentara Israel mengatakan bahwa pemerintah Suriah bertanggung jawab dan membalas dengan menembaki posisi pemerintah, terkadang tembakan itu jauh ke dalam wilayah Suriah.

"Kami akan menyerang siapa saja yang menyerang kami. Kami tidak akan menerima tumpahan. Jika mereka menyerang kami, kami akan balas, dan tidak memakan banyak waktu," kata Perdana Menteri Israeal Benjamin Netanyahu setelah insiden penembakan 21 Oktober itu.

Menurut Ofer Zalzberg, pengamat senior Israel/Palestina untuk Kelompok Krisis Internasional, sejauh ini ada sekitar 20 serangan yang dilakukan oleh pejuang yang didukung Iran di perbatasan.
Dia yakin bahwa Israel juga membalas bila ada "penyeberangan" yang disengaja oleh oposisi Suriah yang mendorong Israel untuk menyerang militer Suriah.

Israel pada umumnya menolak untuk mengomentari serangan yang dilakukan di Suriah. Namun, dilakukan beberapa serangan terkenal berikut ini:

1.       Membunuh tiga pejuang pro-pemerintah Suriah di Quneitra, di dekat Dataran Tinggi Golan pada 23 April 2017.
2.       Serangan di pusat pasokan senjata yang dioperasikan oleh Hizbullah dekat bandara Damaskus pada 27 April 2017.
3.       Pengeboman sebuah depot fasilitas pemerintah Suriah yang dianggap terkait dengan produksi senjata kimia negara tersebut pada 7 September 2017.
4.       Membunuh beberapa pejuang Hizbullah, termasuk Jihad Mughniyeh, anak seorang pemimpin militer yang tewas dalam serangan udara di Quneitra pada 19 Januari 2015.
5.       Pembunuhan Samir Kuntar Hizbullah di pinggiran Damaskus pada 19 Desember 2015.

Mengapa begitu sering?

Suriah dan Israel secara teknis telah dalam keadaan perang sejak 1948, setelah pembersihan etnis Palestina dan perang Arab-Israel yang terjadi tahun itu.

Pada tahun 1967, Israel menduduki wilayah Suriah di Dataran Tinggi Golan dan terus menduduki sebagiannya sampai hari ini.

Kedua negara menandatangani sebuah perjanjian pelepasan pada tahun 1974 setelah perang 1973 antara Israel, Suriah dan Mesir.

Wilayah perbatasan tetap relatif sepi sejak saat itu, tapi letusan perang di Suriah mengeluarkan sebuah babak baru dalam hubungan Israel-Suriah.

Metamorfosis perang sangat penting untuk memahami peningkatan serangan semacam itu selama beberapa tahun terakhir.

Kekuatan dan pengaruh yang berkembang dari Iran dan Hizbullah di Suriah adalah perhatian utama Israel, sebuah ketakutan yang tidak disembunyikannya.

Pada tahun 2006, Israel dan Hizbullah melakukan perang berdarah 34 hari yang mengakibatkan kematian lebih dari 1.100 orang Lebanon, yang sebagian besar adalah warga sipil. Diperkirakan 159 orang Israel, termasuk 43 warga sipil, juga tewas akibat serangan roket Hizbullah.

Khawatir bahwa Iran mengirimkan senjata ke Hizbullah, Israel telah sering menargetkan konvoi senjata dengan mengatakan akan terus memblokir upaya untuk mendukung gerakan Lebanon itu.

Netanyahu menuduh Iran "mengubah Suriah menjadi basis pertahanan militer" dan ingin menggunakan Suriah dan Lebanon sebagai front perang untuk membasmi Israel.

Siapa yang bertanggung jawab?

Di saat pemerintah Suriah mengatakan bahwa Israel bekerja sama dengan "kelompok teroris" di Suriah, Israel balik menyalahkan tentara Suriah karena ada roket yang berasal dari daerah-daerah yang berada di bawah kendalinya.

Menurut pengamat, kedua negara yang harus dipersalahkan atas eskalasi kekerasan perbatasan.
"Jika Anda berbicara tentang hukum internasional, maka Israel harus disalahkan karena menyerang negara lain. Tetapi rezim Suriah juga terlibat dalam memprovokasi Israel dengan mendukung Hizbullah," kata Sobhi Hadidi, seorang analis politik Suriah yang independen di Perancis.

Omar Kouch, pengamat politik Suriah mengatakan bahwa milisi Iran yang bertanggung jawab.

"Ketika mendekati perbatasan, dia (milisi Iran) tahu bahwa Israel akan menanggapi. Ketika meluncurkan rudal di perbatasan, dia tahu bahwa Israel akan menanggapi. Ketika mencoba untuk mengirim senjata ke Hizbullah, dia tahu bahwa Israel akan memblokir ini. Ini semacam permainan," kata Kouch.

Para pengamat menilai, serangan-serangan tersebut tidak akan mengarah kepada perang penuh, tatapi kemungkinan serangan tit-for-tat hanya menyebabkan perang skala rendah.

"Rezim telah diserang oleh Israel selama bertahun-tahun dan tidak pernah merespon sekali pun," kata Kouch, karena menurutnya pemerintah Suriah berada dalam posisi lemah vis-a-vis Israel.

Meskipun ada ancaman berulang dari Assad, termasuk yang terakhir dalam sebuah surat kepada PBB yang memperingatkan tentang "konsekuensi serius dari serangan agresif berulang tersebut", pasukan pemerintah telah macet akibat perang enam tahun tersebut.

Namun, ada yang mengatakan bahwa eskalasi masa depan seharusnya tidak dikesampingkan.

Menurut Zalzberg, awalnya, Assad memilih untuk mengabaikannya, tapi semakin banyak keseimbangan pertempuran di Suriah yang menguntungkannya, semakin dia merasa mampu dan berkewajiban untuk membalas Israel. 

Sumber: tulisan Zena Tahhan di Al Jazeera


Mi’raj News Agency (MINA)


Rabu, 25 Oktober 2017

Iran Rekrut Ribuan Orang Afghanistan ke Perang Suriah

Pejuang Afghanistan. (Foto: AFP/Getty)


Seorang mantan pejuang Afghanistan yang pernah direkrut oleh Iran untuk berperang di Suriah, memberi kesaksiannya bersama lembaga HAM Human Right Watch (HRW). Ia bercerita dengan identitas dirahasiakan, tapi sebut saja dia bernama Syams.

Kondisi kemiskinan dan pengangguran di Afghanistan mendorong Iran untuk merekrut ribuan penganut paham Syiah untuk berperang di Suriah, mempertahankan pemerintahan Presiden Bashar Al-Assad.

Syams mengatakan, pria dewasa dan anak laki-laki Afghanistan berusia 14 tahun mendaftar untuk perjanjian uang dan tempat tinggal legal di Iran.

Sejak 2013, orang-orang Afghanistan, termasuk migran gelap yang tinggal di Iran, bergabung dengan kelompok bersenjata Fatemiyoun yang didukung Teheran di Suriah.

"Bagi saya, itu hanya tentang uang," kata Syams.

Pria berusia 25 tahun itu adalah anggota kelompok etnis Hazara di Afghanistan. Ia pergi ke Suriah dua kali pada 2016 untuk bertempur dalam konflik yang kini sudah lebih dari enam tahun.

"Siapa pun yang saya lihat, mereka mencari uang dan bebas masuk ke Iran. Saya tidak pernah melihat ada orang yang berjuang untuk alasan agama," kata Syams, yang sekarang tinggal di Kabul, ibu kota Afghanistan.

Syams pergi Iran karena dia menganggur. Ia berharap bisa mendapat pekerjaan di Iran dan mendapatkan uang untuk keluarganya. Awalnya ia tidak sedikit pun punya rencana untuk pergi berperang.

Namun, setelah sebulan menganggur di Iran, akhirnya Syams memutuskan untuk mendaftar pergi berjuang di Suriah.

“Anda akan menjadi pejuang kebebasan dan jika Anda kembali ke Iran tetap hidup, Anda bisa tinggal dengan izin tinggal selama 10 tahun,” kata Syams mengutip pihak perekrut di Iran. Namun, tujuan utama Syams adalah mendapatkan uang.

Individu Syiah Afghanistan yang mendaftar di pusat rekrutmen untuk kelompok Fatemiyoun, akan diberikan 1,5 juta rials atau US$ 450 (sekitar Rp6,1 juta). Setelah mendaftar, mereka akan menerima 3 juta rials per bulan, sebuah penghasilan besar bagi banyak orang miskin di Afghanistan.

Misi pertama Syams dilakukan pada bulan Juni 2016 di ibu kota Suriah, Damaskus. Dia ditugaskan untuk melindungi sebuah barak selama dua bulan. Untuk tugas keduanya di Suriah pada September 2016, ia dikirim ke Aleppo. Ia diberi senapan AK-47 pertamanya setelah menerima pelatihan senjata rudal dari Garda Revolusi Iran.

Di garis depan pertempuran antara Islamic State (ISIS) dan Front Al-Nusra terjadi. Syams mendapati dirinya terperangkap dalam pertempuran yang hebat dan mematikan.

"Di Aleppo, kami menghadapi penyergapan. Dari 100 pejuang, kami kehilangan hampir semua dari mereka. Ada 15 dari kami yang masih hidup," kata Syams.

Para pejuang Afghanistan yang tewas, jenazahnya dikirim pulang ke Iran. Sementara keluarganya di Afghanistan mengadakan upacara pemakaman di masjid tanpa peti mati atau kuburan.

Ali Alfoneh, seorang anggota senior di dewan pemikir Atlantik yang bermarkas di Washington, memperkirakan lebih dari 760 orang Afghanistan telah terbunuh di Suriah sejak September 2013.

Seorang pria lain yang bertempur di Suriah pada tahun 2014, saat itu ia berusia 17 tahun, mengatakan bahwa bukan hanya orang Afghanistan di dalam Fatemiyoun. "Ada juga orang Pakistan, Irak, semua orang Syiah," katanya. "Kami bercampur dengan orang-orang Arab, kami tidak mengerti bahasa mereka."

HRW yang bermarkas di New York mengatakan bahwa Iran menolak memberikan angka yang akurat kepada lembaganya, tapi diperkirakan ada hampir 15.000 orang Afghanistan yang sedang atau pernah berjuang untuk Fatemiyoun.

Setelah laporan HRW pada Oktober 2017 mengutuk perekrutan Iran terhadap anak Afghanistan di bawah umur, Kementerian Luar Negeri Afghanistan meminta pemerintah Iran berhenti mengirim orang Afghanistan muda ke Suriah. 


Mi’raj News Agency (MINA)

Selasa, 24 Oktober 2017

Haider Al-Abadi “Pahlawan” Mission Impossible Irak


Perdana Menteri Irak Haider Al-Abadi. (Foto: dok. Dinar Vets)

Ketika Haider Al-Abadi ditugaskan untuk membentuk sebuah pemerintahan baru Irak pada bulan Agustus 2014, itu hanya beberapa pekan setelah terjadi serangan kilat oleh kelompok Islamic State (ISIS). Banyak yang yakin bahwa dia akan gagal.

Tiga tahun kemudian, perdana menteri bertubuh gempal dengan janggut putih dipotong itu telah mengubah apa yang banyak dianggap "misi mustahil" di Irak menjadi sebuah kisah sukses.

Dia berhasil membangun kembali angkatan bersenjata Irak yang hancur, memburu ISIS di lebih dari 90 persen wilayah yang telah disita - sekitar sepertiga dari Irak - dan merebut kembali daerah-daerah yang disengketakan di utara dari pasukan Pesmmerga Kurdi.

Fanar Haddad, seorang peneliti di Institut Timur Tengah Universitas Nasional Singapura mengatakan, pandangan standar terhadap Abadi adalah bahwa dia ragu-ragu, lemah dan terlalu mendamaikan politik Irak. Ketika Abadi mengambil alih posisi Nuri Al-Maliki, dia menghadapi tantangan besar, termasuk korupsi yang merajalela, infrastruktur yang buruk, turunnya harga minyak dan ancaman miltansi kelompok bersenjata.

Sajad Jiyad, Direktur Pusat Perencanaan dan Studi Independen Al-Bayan di Baghdad mengatakan, Abadi menghadapi "pekerjaan paling sulit di dunia.” Namun, dengan mengenakan pakaian militer atau jas dan dasi, Abadi dari waktu ke waktu mengumumkan beberapa kemenangan militer saat mencoba memerangi korupsi dengan meluncurkan reformasi pembersihan.

"Dia adalah perdana menteri terbaik dalam sejarah Irak. Dia hanya berbicara sedikit, tapi banyak bertindak," tulis salah satu dari 2,5 juta pengikut Abadi di Facebook.

Pengamat mengatakan, Abadi telah berhasil saat perdana menteri Irak lainnya gagal.

"Cara tenang dan mendamaikannya, keterbukaannya untuk berurusan dengan beragam aktor (di dalam dan di luar Irak) sangat berbeda dengan pendahulunya," kata Hanar Haddad.

Satu survei yang dilakukan oleh sebuah lembaga pemungutan suara Irak mendapatkan bahwa perdana menteri Syiah itu mendapat dukungan 75 persen, bahkan termasuk dari minoritas Sunni Irak.

Dari pengasingan ke politik

Abadi adalah seorang anggota Partai Dawa. Ia lahir pada tahun 1952 di sebuah distrik kaya di Baghdad, tapi tinggal di pengasingan pada masa pemerintahan Saddam Hussein, termasuk di Inggris tempat dia mendapatkan gelar doktor teknik dari Universitas Manchester.

Dua saudara laki-laki Abadi ditangkap dan dieksekusi oleh rezim Saddam karena keanggotaan Partai Dawa yang menentang pemerintah, sementara yang ketiga dipenjara selama satu dekade dengan tuduhan yang sama.

Abadi pulang ke Irak setelah penggulingan Saddam pada tahun 2003. Ia diangkat menjadi menteri komunikasi di pemerintahan sementara yang dibentuk setelah kejatuhan Saddam.

Pada tahun 2006, dia terpilih menjadi anggota parlemen, memimpin komite ekonomi, investasi dan rekonstruksi yang kemudian menjadi komite keuangan.

Dia terpilih sebagai wakil ketua parlemen pada bulan Juli 2014, sebelum ditarik untuk membentuk pemerintahan sebulan kemudian.

Mungkin, pencapaian terbesarnya sejak saat itu adalah membangun kembali polisi dan tentara Irak yang telah dilemahkan oleh konflik selama puluhan tahun, termasuk invasi pimpinan Amerika Serikat 2003.

Abadi berhasil merombak puluhan ribu anggota pasukan dengan bantuan sekutu Irak, termasuk Amerika Serikat yang melangkah untuk melatih dan membekali mereka.

Di bawah komandonya, pasukan Irak mengejar militan ISIS di lebih dari 90 persen wilayah yang mereka rebut, yang merupakan pukulan besar bagi "khalifah" kelompok ini.

Awal bulan Oktober 2017, tentara Irak merebut kembali posisi Kurdi di dalam dan di sekitar provinsi Kirkuk, di luar wilayah otonom Kurdi di Irak utara.

Pemain internasional

Prestasi ini telah mengubah Abadi menjadi “pahlawan”, hampir dipuja oleh banyak orang Irak.
"Hari ini tampaknya ada sedikit kultus yang tumbuh di sekitar Abadi," kata Fanar Haddad. 

Pengamat mengatakan, Abadi memenangkan hari ini berkat pendekatan langkah demi langkahnya.
Dia memulai pertempuran melawan korupsi dan di bawah kepemilikannya, beberapa pejabat telah ditangkap dan diadili karena kasus korupsi.

Abadi juga dengan gigih menempatkan Irak di panggung internasional dan berhasil mengamankan dukungan dari sekutu internasionalnya.

Para diplomat yang berbasis di Baghdad menggambarkan Abadi sebagai seseorang yang tahu bagaimana membangun dirinya dan menghormati perintah.

Pada Ahad, 22 Oktober 2017, Abadi mengunjungi Arab Saudi untuk mengurangi ketegangan antara Baghdad yang berpenduduk mayoritas warga Syiah dan kerajaan yang diperintah kalangan Sunni.

Nafar Haddad menilai perjalanan itu "tidak terpikirkan" di bawah kepemimpinan Maliki dan bisa dipandang sebagai kudeta diplomatik lain yang dilakukan Abadi, karena pemerintahannya saat ini bersekutu dengan saingan Iran, Arab Saudi.

Namun, terlepas dari banyak prestasinya, menurut Haddad, penting untuk mengenali batasan tentang apa yang bisa Abadi lakukan.

"Tantangan besar" bagi Abadi masih menghadang seperti rekonstruksi kota-kota yang hancur dan isu warga Irak yang mengungsi karena berperang. 

"Ini berada di luar kendali satu aktor manapun," kata Haddad.


Mi’raj News Agency (MINA)