Ilustrasi |
Tujuh puluh tahun yang lalu pada hari Jumat, tentara India
mendarat di lembah Himalaya, Kashmir, menimbulkan salah satu perselisihan
paling mematikan di dunia.
Setiap tahun orang-orang di wilayah terbagi ini menandai 27
Oktober sebagai "Black Day"
(Hari Hitam) untuk memprotes "pendudukan militer India" yang telah
berusia puluhan tahun.
"Anda pergi ke rumah mana pun, mereka akan menceritakan
sebuah kisah bagaimana saudara laki-laki, anak laki-laki, dan suami mereka
terbunuh, dan bagaimana mereka terus menghadapi kekejaman tentara. Kami terus
menghidupkan dampak dari hari yang melahirkan konflik ini," kata Javed
Ahmad (55) yang toko kelontongnya tutup pada hari Jumat, di kota utama Srinagar,
ibu kota Negara Bagian Jammu dan Kashmir sebagai tanda protes.
Perang India-Pakistan pertama terjadi untuk Kashmir setelah
kemerdekaan dari pemerintahan Inggris, ketika suku-suku bersenjata dari
Provinsi Perbatasan Barat Laut Pakistan (sekarang disebut Khyber-Pakhthunkhwa)
menyerang wilayah yang disengketakan tersebut pada Oktober 1947.
Penguasa Kashmir saat itu, Maharaja Hari Singh, dihadapkan
pada sebuah revolusi internal dan juga invasi eksternal. Ia meminta bantuan
dari angkatan bersenjata India dengan imbalan mendapat akses ke India. Dia
menyerahkan kendali departemen pertahanan, komunikasi, dan urusan luar
negerinya kepada pemerintah India.
Meskipun kedua belah pihak sepakat bahwa aksesi yang
ditandatangani oleh Maharaja Hari Singh akan diratifikasi oleh sebuah
referendum setelah permusuhan dihentikan, tapi pemungutan suara tersebut tidak
pernah diadakan, bahkan setelah 70 tahun membuat Kashmir menjadi warisan
partisi yang belum terpecahkan.
Dua saingan nuklir India dan Pakistan, masing-masing
mengelola sebagian wilayah Kashmir, tapi keduanya mengklaim wilayah Himalaya
secara keseluruhan. Kelompok militan pro kemerdekaan telah berjuang sejak tahun
1989 untuk bagian yang dikelola oleh India agar Kashmir menjadi independen atau
bergabung dengan Pakistan.
Hampir 70.000 orang terbunuh dalam pemberontakan tersebut
dan tindakan keras militer India selanjutnya. India memiliki sekitar 500.000
tentara di wilayah mayoritas Muslim tersebut.
"Konflik Kashmir terus sama seperti 70 tahun yang lalu.
Tidak ada perubahan di dalamnya, ada kekejaman kepada orang-orang. Kami sangat
menderita sejak hari itu, dan kami terus menderita, partisi tersebut memiliki
efek abadi pada kami. Semua orang yang mencintai umat manusia harus maju untuk
menyelesaikan perselisihan ini karena ini adalah perselisihan terpanjang yang
pernah ada di dunia," kata Muhammad Ashraf Wani, seorang profesor sejarah.
Ia menambahkan bahwa konflik tersebut telah menghancurkan Kashmir bersama masa
lalunya.
Khalid Bashir, seorang penulis Kashmir mengatakan, bahkan
setelah perang dan kekerasan lainnya, sebuah solusi masih harus ditemukan di
Kashmir.
Menurutnya, konflik tersebut menimbulkan perjuangan
bersenjata, kematian dan kehancuran, tapi tetap tidak ada keseriusan dalam
menyelesaikan masalah ini. Konflik tersebut telah mengakibatkan anak menjadi
yatim, luka-luka, dan pertumpahan darah terus berlanjut.
“India dan Pakistan memiliki argumen mereka, tapi rakyat Kashmir
yang mendapat peluru," katanya.
Selama 70 tahun telah mengajarkan pelajaran bahwa
pertumpahan darah akan berlangsung sampai usaha serius dilakukan untuk
mengatasinya. India dan Pakistan bahkan tidak saling berbicara, ini akan terus
berlanjut.
Pemimpin separatis yang dipimpin oleh Syed Ali Shah Geelani
yang mendukung Kashmir bergabung dengan Pakistan, mengatakan dalam sebuah
pernyataan bahwa India "secara paksa" merebut Kashmir pada tahun
1947.
"Tujuh puluh satu tahun yang lalu pada hari ini, India
tanpa pembenaran konstitusional dan moral secara paksa mengendalikan Jammu dan
Kashmir, dan sejak saat itu, pasukan India tanpa ampun membunuh orang-orang
Kashmir yang tidak berdosa dan tidak bersenjata, merusak properti mereka dan
terlibat dalam tindakan tidak manusiawi lainnya," kata Geelani.
Pemimpin yang selalu menyerukan demonstrasi menentang
"pendudukan ilegal" itu, menuduh pasukan keamanan India melepaskan
kekejaman terhadap bangsa Kashmir.
Jumat, 27 Oktober 2017, pihak berwenang memberlakukan jam
malam di sebagian besar wilayah Kashmir dan menempatkan keamanan besar-besaran
di jalan untuk mencegah terjadinya demonstrasi besar-besaran memperingati Black
Day. Bahkan warga setempat dilarang menghadiri shalat Jumat di Masjid Agung
Srinagar.
Sumber: tulisan Rifat Fareed di Al Jazeera
Mi’raj News Agency
(MINA)